Menara Williem Toren menyimpan jejak perjuangan Teungku Chik di Tiro, Panglima Perang Aceh yang mengobarkan Perang Sabil.

Jejak Teungku Chik di Tiro di Willem Toren

Mercusuar Willem Torren di Pulo Breueh, Aceh Besar | Foto: Disbudpar Aceh

PINTOE.CO - Untuk menyemarakkan HUT RI ke-79, Pemerintah Aceh melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik mengibarkan 79 Bendera Merah Putih di Mercuar Willem's Torrent III, di Pulo Breueh, Kabupaten Aceh Besar, pada Sabtu, 6 Juli 2024. Badan Kesbangpol Aceh juga membagikan 500 bendera Merah Putih kepada masyarakat di sana. 

Mercusuar Willem's Torrent memang tak terlepas dari jejak perjuangan orang Aceh melawan penjajahan Belanda. Mulai dibangun Belanda pada 1874 dan selesai pada 1875 (dua tahun setelah pendaratan pertama Belanda di Aceh), Willem's Torrent menjadi saksi bisu perlawanan Teungku Chik di Tiro dan pasukannya.  

Suatu malam di bulan November 1887, atau berselang 16 tahun setelah menara itu berdiri, para opsir Belanda menghabiskan malam dengan jantung berdegup. Lengah sedikit saja, alamat menjadi santapan senjata para pejuang Aceh yang sewaktu-waktu muncul bagai siluman dari balik hutan lebat.

Begitulah kesaksian Mayor Jenderal G.F.W Borel dalam bukunya Onze Vestiging in Atjeh. Sejak dibangun pada 1874, entah berapa kali para pejuang Aceh di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro menyerbu Pulau Breueh. Belanda menyebutnya Pulo Bras.

Catatan serupa juga muncul dalam buku Teungku Thjik di Tiro; Hidup dan Perdjuangannja yang ditulis Ismail Jacob 1960.

Teungku Syik di Tiro melakukan penyerangan baru dari Lampager ke Pulau Beras pada malam 9 jalan 10 November tahun 1887. Ke Kuala Pantjar datang pula serangan dari Teungku Chik di Tiro, kompeni terpaksa memakai meriam, tetapi dalam catatan kompani, barisan Tengku Chik di Tiro dapat merusakkan 40 rumah, perahu dan 4 meriam besar,” tulis Ismail Jacob.

Lampager yang dimaksud Ismail Jacob adalah Lampageu di Ujung Pancu, Aceh Besar, daratan terakhir sebelum menyeberang ke Pulo Breueh (Ismail Jacob menyebutnya Pulau Beras), pulau terbesar di gugusan pulau-pulau kecil di ujung Barat Sumatera. 

Sejarah mencatat, Teungku Chik di Tiro adalah ulama besar sekaligus panglima perang yang memimpin pasukan Aceh melawan Belanda pada kurun waktu 1881 hingga 1891.

Lahir pada 1836 dengan nama asli Muhammad Saman, Chik di Tiro mengobarkan semangat Perang Sabil bersama Teungku Chik Pante Kulu. Datang dari Tiro, Pidie, ia menjadikan Meureu, Indrapuri, Aceh Besar, sebagai benteng pertahanan. Untuk menaikkan semangat pejuang, ia memperkenalkan semboyan mati syahid untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.

Kedatangan pasukan Aceh di sekitar  menara Wiliiam Torren tercium pasukan Belanda. Dua hari berselang, pada 12 November 1887, Belanda menambah pasukan. Sekitar 300 prajurit dari Batalyon Infanteri 14 Koetaraja dikirim ke Pulo Breueh. Dipimpin Mayor JWStemfoort, bala bantuan diperkuat dengan kapal uap Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda, dan Zr.Ms. Bali. Sehari kemudian, tiba lagi 150 pasukan yang dibekali amunisi lengkap.

Dua hari berselang, pada 14 November 1887, operasi besar dilakukan di Pulo Breuh. Hasilnya, Belanda mendeteksi keberadaan sekitar 300 pasukan Aceh di kawasan Lampuyang, beberapa kilometer dari mercusuar. Mereka sedang mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang pangkalan marinir dan kawasan mercusuar.

Besoknya, perang pecah. Pasukan Aceh keluar dari Lampuyang dan bergerak menyerang pasukan Belanda. Belanda melancarkan serangan balasan pada malam hari. Oleh Belanda, serangan balasan itu disebut sebagai hukuman bagi pasukan Aceh.

Tepat pukul 12 malam, pasukan Belanda bergerak mengepung Lampuyang. Dari darat, 540 perwira dan prajurit bersenjata lengkap merapat ke Lampuyang. Sementara dari laut, tiga kapal uap, yaitu, Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda, dan Zr.Ms. Bali ikut mengepung dengan moncong meriam siap ditembakkan.

Dalam dokumen yang dirilis Belanda digambarkan betapa gempuran malam itu menjadikan suasana Lampuyang terang-benderang. Dentum senjata bersahutan sepanjang malam, diselingi ledakan mortir yang ditembakkan dari kapal, dan itu menjadi pukulan berat bagi pasukan Aceh. Ledakan mortir itu ditulis Belanda sebagai sebuah tembakan yang ‘indah’ lantaran hutan di sekitar Lampuyang menjadi terang dan kapal berguncang hebat.

Di atas ombak yang digambarkan sangat besar, sepanjang malam itu kapal terus meraung di sekitar pantai dengan menghujam tembakan ke Lampuyang. Bagaimanapun, pertahanan gerilya pasukan Aceh membuat pertempuran berlangsung dari tengah malam itu sampai pagi hingga sore harinya.

Peperangan yang terus berlanjut hingga malam hari membuat Belanda mengakui kehilangan banyak prajurit, dan seorang sersan dinyatakan terbunuh. Sementara prajurit dengan luka berat diangkut ke armada di dekat mercusuar untuk mendapat perawatan medis.

Menyadari kondisi itu, Belanda melakukan serangan dengan kekuatan penuh yang dimulai 17 hingga 20 November. Di tengah hujan lebat yang mengguyur Pulo Breuh, terdengar jerit sakit para korban di sela suara tembakan.

Sebenarnya, dua tahun sebelumnya, Teungku Chik di Tiro juga pernah menyerang Pulo Breueh. “Pada Desember 1885, Teungku di Tiro mendarat di Kuala Cangkoi dan Pulau Beras, 40 tentara kompeni yang menjaga pos di situ tewas semuanya,” tulis Ismail Jacob.

Dalam sejumlah dokumen setelah perang, Belanda merilis pengakuan bahwa mereka tidak pernah mampu menghancurkan pertahanan pasukan Aceh secara keseluruhan. Bagaimanapun, setelah perang dahsyat itu, serangan demi serangan terus dilakukan pasukan Aceh sehingga pengamanan mercusuar selalu membutuhkan pasukan militer yang kuat.

Pada Maret 1888, pangkalan militer sebagai pusat penyalur batubara itu resmi ditutup. Namun fungsi pangkalan militer sebagai penjaga mercusuar tetap berlanjut sampai Belanda hengkang dari bumi Aceh.

Sementara Teungku Chik di Tiro, panglima besar Aceh itu, meninggal karena diracun pada 21 Januari 1891 dalam usia 55 tahun di Aneuk Galong. Jasadnya dikebumikan di Meureu, Indrapuri. Aceh Besar. Sepeninggal Chik di Tiro, perjuangannya diteruskan oleh pejuang lain.

***

Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh mencatat, ketinggian menara Willem Toren mencapai 85 meter, pada areal seluas 20 hektare. Penamaan Willem’s Toren untuk menara itu mengadopsi nama Raja Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk, penguasa Luxemburg ketika itu. Konon bangunan mercusuar juga dibuat sebagai penghormatan kepada raja karena giat membangun infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Aceh.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh juga menyebutkan, Belanda membangun mercusuar untuk menyiapkan Pulo Weh (Sabang) sebagai pelabuhan transit Selat Malaka karena serikat dagang Hindia Belanda, VOC, telah berdiri.

“Infrastruktur pelabuhan dan sarana navigasi jadi kebutuhan dasar saat itu dan Belanda bercita-cita ingin membuat pelabuhan transit Sabang seperti Singapura,” tulis Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh.

Di dunia hanya terdapat tiga mercusuar yang dibangun Raja Willem ketika itu, yaitu di Aceh, Kepulauan Karibia, dan di Belanda. Hanya mercusuar di Aceh dan Kepulauan Karibia yang masih berfungsi, sementara mercusuar di Belanda telah berubah fungsi menjadi museum.

Menjulang gagah ke arah langit, mercusuar bundar itu kini dicat putih dan merah. Ketebalan dindingnya mencapai satu meter. Berdiri di utara Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, pada sayap gunung yang menjorok ke Samudera Hindia, menara itu dilengkapi rumah-rumah berjejer membentuk garis lurus. Dahulunya kawasan itu merupakan pangkalan militer, Korps Marinir Belanda.

Mayor Jenderal G.F.W Borel menyebut, pembangunan mercusuar dimulai pada 1874 ketika Belanda menyadari pentingnya menjaga keselamatan pelayaran bagi kepentingan militer mereka di jalur strategis di sekitar pertemuan Selat Malaka dengan Samudera Hindia. Alasan lain adalah pembukaan Terusan Suez pada 1869 yang telah membuat lalu lintas maritim internasional meningkat pesat.

Disebutkan, lebih dari seribu prajurit dan bintara dari Korps Marinir dikirim ke Pulo Breuh untuk mengamankan pembangunan mercusuar itu.

Keberadaan pasukan Aceh yang terus mengintai dan kerap melakukan serangan dadakan membuat pangkalan marinir turut dibangun di Teluk Ujong Peunenung, berjarak 1.5 kilometer dari mercusuar. Sebuah pangkalan yang lebih besar juga dibangun di Luengbale, sekitar enam kilometer dari mercusuar.

Dua pangkalan militer itu juga sebagai dermaga penyalur batubara untuk seluruh wilayah Aceh.

Proses pembangunan mercusuar itu sendiri melibatkan lima orang insinyur, dan dikerjakan oleh 489 orang yang dibawa dari Ambon, serta sebanyak 698 penduduk pribumi Pulo Aceh.

Di bawah kontrol penuh angkatan laut, pembangunan yang tiada mengenal letih itu akhirnya siap pada 20 Juni 1875. Selang satu bulan, yaitu 23 Juli 1875 mercusuar itu diresmikan.

Kini, pada sebuah plakat besi yang menempel di menara pada ketinggian sekitar lima meter dari permukaan tanah, tepat di atas pintu masuk mercusuar, terpampang sebuah tulisan dalam Bahasa Belanda berbunyi:

Willem's Toren 1875

Gesticht in oorlogstijd

Den vrede gewyd

Tevens een blijvende eerezuil voor al de dapperen en braven, die ter bereiking van dit doel des vredes hun bloed en leven ten offer gaven

(Menara Willem 1875,

Didirikan pada masa perang,

Sebuah kenangan abadi untuk setiap keberanian dan para pemberani, untuk mencapai tujuan damai ini darah dan nyawa telah dikorbankan).[]

 

williamtorren mercusuar puloaceh pulobreueh cagarbudayaaceh bangunanbersejarah