Sembilan Jam Bersama PYM Malik Mahmud Al-Haytar: Aceh Bek Lalee Ngen Peng Griek!
Aceh saat ini wajib kembali ke tujuan suci yang tertuang dalam MoU Helsinki.

Penulis (kanan) bersama PYM Malik Mahmud Al-Haytar | Foto: Dok. Pribadi
Pada tanggal 19 Juni 2024, saya diinformasikan oleh Dr. Muhammad Raviq selaku staf khusus PYM Malik Mahmud Al-Haytar untuk menemani Wali Nanggroe Aceh IX dalam kunjungan kerja ke Pidie Jaya sembari bertakziah ke kediaman Sekretaris Jenderal DPP Partai Aceh, Teungku Kamaruddin Abubakar (Abu Razak), menyampaikan duka cita atas meninggalnya mertua beliau.
Keesokan harinya, sekitar pukul 08.30 WIB, rombongan Wali Nanggroe berangkat bersama Majelis Tuha Peuet Lembaga Wali Nanggroe 2023 s/d 2028 berangkat menuju Pidie Jaya. Kebetulan saya diajak oleh Wali Nanggroe dan Dr. Muhammad Raviq satu mobil. Saya duduk tepat di belakang Wali. Dalam perjalanan, Wali menyampaikan beberapa hal.
Pertama, Aceh harus kembali kepada nilai-nilai perjuangan GAM yang ingin memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan martabat bangsa Aceh. Bagaimana konsep kesejahtaraan itu? Tidak ada cara lain yakni Pemerintah Aceh dan DPRA dianggap memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan bagi setiap rakyat Aceh. Dua sektor yang dianggap penting yakni, Aceh harus kembali ke sektor laut karena pengelolaan kekayaan laut sudah diberikan ke Aceh termasuk pengelolaan migas hingga 12 mil dari garis pantai.
Sektor laut tidak berhenti disitu saja ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat Aceh misalnya ikan, rumput laut, terumbu karang, penanaman hutan mangrove, garam, pasir laut dan yang utama adalah pariwisata. Jika Pemerintah Aceh dan DPRA fokus terhadap pengelolaan kekayaan laut Aceh, maka rangking kemiskinan Aceh di Sumatera sesegera mungkin diminimalisir dalam waktu 10 tahun ke depan.
Kemudian, Aceh harus kembali kepada sektor tani yang mencakup subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan, perikanan, kehutanan, serta jasa pertanian. PYM Malik Mahmud bertanya: tahu tidak berapa hasil padi Aceh? Jawabnya: produksi padi pada tahun 2023 mencapai 1,4 juta ton, sehingga membuat Aceh menjadi daerah surplus produksi padi setiap tahun, meskipun secara keseluruhan di pulau Sumatera panen padi terus menurun termasuk di Aceh.
Saya merasakan uraian PYM Malik Mahmud luar biasa detail. Artinya, beliau sebagai Pemimpin Aceh tertinggi membaca data terbaru. Bahkan, beliau masih fasih bercerita bagaimana warga Singapura pernah mengalami darurat pangan saat diduduki tentara Jepang pada masa perang dunia ke-2. Saat itu, mereka makan apa saja termasuk rumput dan umbi-umbian. Bagi yang belum tahu, orang tua PYM Malik Mahmud menetap di sana saat itu.
“Aceh saat ini begitu kaya secara geografis, semua sektor sumber daya alam kita miliki, yang paling utama adalah sektor laut dan sektor tani yang harus dimaksimalkan secepat mungkin. Pemerintah Aceh dan DPRA harus serius selaku penguasa anggaran, sejarah akan mencatat seberapa serius mereka terhadap rakyat Aceh. Allah SWT akan tanyakan itu di akhirat,” kata Wali.
Kedua, PYM Malik Mahmud mengatakan bahwa bangsa Aceh adalah bangsa yang setara dengan bangsa lain, sama kedudukan dan derajat sebagai sebuah bangsa. Rakyat Aceh keseluruhannya tidak boleh menganggap dirinya rendah dengan bangsa-bangsa lain. Inferior complex, istilahnya. Sebuah gangguan kepribadian di mana seseorang meragukan kemampuan dirinya alias merasa rendah diri. Beliau ingat, pesan itu selalu ditekankan oleh alrmarhum PYM Teungku Hasan di Tiro. Kondisi ini membuat bangsa Aceh menjadi pengidap kehilangan rasa percaya diri dan selalu merasa kurang dalam berbagai aspek kehidupan seperti dunia birokrat yang feodal, intelektual yang feodal, sosial yang feodal, dan fisik yang feodal. Ini terlihat dari tindakan, terutama pemimpin Aceh, yang manut sepenuhnya kepada apa pun yang menjadi keputusan Jakarta.
Inferiory complex ini dimaknai bahwa Aceh sudah memiliki kewenangan istimewa yang bersifat khusus lewat pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA memberikan derivasi bahwa Aceh mengatur pemerintahan sendiri. Semestinya Aceh sudah selesai lewat UUPA, untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama tidak melanggar kepentingan nasional Republik Indonesia. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintah pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional dan urusan tertentu bidang agama.
Aceh saat ini wajib kembali ke tujuan suci yang tertuang dalam MoU Helsinki sehingga para stakeholder di Aceh harus membaca dan memahami keadaan Aceh masa depan.
“Tidak boleh lalai dengan peng griek (uang receh).” kata PYM Malik Mahmud Mahmud.
Ketiga, bagian ini saya sangat terharu atas cerita PYM Malik Mahmud. Beliau mengatakan suatu ketika ada acara dengan dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Aceh yang dimotori oleh Brigjen Pol. Fasial Abdul Naser selaku Kepala BNN Aceh. Sebenarnya acara itu berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat lewat program pembangungan alternatif (alternative development) di bidang pertanian: kopi, jagung, nilam, jahe dan perternakan. Disela-sela pidatonya, Pak Faisal mengatakan bahwa hasil penelusurannya, PYM Malik Mahmud hingga saat ini (19 tahun perdamaian Aceh) belum memiliki rumah pribadi di atas tanah Aceh.
PYM Malik Mahmud tersentak dan kaget atas pernyataan Brigjen Pol. Fasial Abdul Naser. Beliau baru sadar bahwa sampai saat ini beliau belum punya rumah, belum punya tanah, belum punya kendaraan pribadi, dan bahkan pernikahan anak PYM Malik Mahmud dilakukan dengan sangat sederhana dan mengundang kerabat terdekat saja. Beliau menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan untuk Aceh, bukan untuk harta dan tahta. Semua itu dilakukan untuk kepentingan nasional Aceh, kepentingan bangsa Aceh, marwah bangsa Aceh.
Karena itu, Aceh saat ini wajib kembali ketujuan hakikat dan indatu bangsa Aceh. Sisa umur PYM Malik Mahmud didedikasikan untuk kepentingan bangsa Aceh. Bukan untuk harta, tidak juga untuk kepentingan sesaat, melainkan kepentingan bangsa Aceh jauh ke depan.
Keempat, beliau bercerita saat mengumpulkan atau menyatukan bangsa Aceh di Malaysia untuk menyokong perjuangan GAM kala itu. Bagian ini saya sangat takjub atas perjuangan beliau. Beliau mengumpulkan pengusaha retail dan besar untuk berkontribusi atas Aceh dan membantu Aceh. Contoh kecil saat itu adalah membuat Kartu Identitas Aceh dengan warna merah, untuk orang Aceh di Malaysia karena saat itu banyak pendatang Aceh ditangkap dan dideportasi kembali ke Indonesia. Kehadiran kartu identitas Aceh sangat membantu rakyat Aceh di Malaysia bahkan sangat dilindungi oleh Polisi Diraja Malaysia. Dengan kata lain, Pemerintah Diraja Malaysia menganggap kita sebagai sebuah negara dan mengakui rakyat Aceh setara dengan bangsa-bangsa lain kala itu.
Di dalam mobil yang melaju, saya merasakan kegundahan hati PYM Malik Mahmud Al-Haytar yang sudah berbuat untuk bangsa Aceh. Sembilan jam semobil bersama beliau membuat saya merenung. Selaku kader muda, saya berharap nilai-nilai perjuangan beliau harus ditularkan atau dinternalisasi ke semua generasi penerus di Aceh. Bangsa Aceh adalah bangsa berdaulat atas tanahnya, berdaulat atas sumber daya alamnya, berdaulat atas udaranya, berdaulat atas lautnya, berdaulat atas rakyatnya.
Kita bangsa yang merdeka dalam kerangka NKRI saat ini. Seperti kata PYM Malik Mahmud, bek lalee ngen peng griek! []
Muhammad Ridwansyah adalah Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang.