Hampir seluruh dayah (pesantren) di pelosok kampung di Aceh hingga kini menjadikannya sebagai bacaan wajib setelah khatam Al-Quran.

Menziarahi Makam Syekh Baba Daud Ar-Rumi, Penulis Kitab Masailal Muhtadi

Makam Baba Daud Rumi, pengarang kitab Masailal Muhtadi yang jadi rujukan bagi pesantren di Aceh hingga kini | Foto: Pintoe.co/Shahibah

“Soal, jika kita ditanyai orang, apa arti Islam itu?

Jawab, bahwa arti Islam itu yaitu menjunjung dan mengikuti segala titah Allah dan mengikuti Sabda Rasulullah dan menjauhi segala larangannya.”


Tangkapan layar kitab Masailal Muhtadi yang ditulis ulang


Bagi sebagian remaja pedesaan di Aceh yang pernah mengaji di pengajian kampung, terutama di pesisir timur sepanjang Pidie hingga Aceh Tamiang, pengenalan Islam dengan format tanya jawab itu akrab di telinga hingga kini.

Ya, itu adalah penggalan dari kitab Risalah Masailal Li Ikhwanil Muhtadi, biasa disingkat Masailal Muhtadi. Hampir seluruh dayah (pesantren) di pelosok kampung di Aceh hingga kini menjadikannya sebagai bacaan wajib setelah khatam Al-Quran.
Ditulis dengan format tanya jawab dalam aksara Arab gundul (Jawi), kitab itu berisi ilmu fikih, tentang hukum dasar Islam, tata cara salat, berpuasa, dan rukun-rukun Islam lainnya. Secara singkat, bisa dibilang sebagai kitab tafsir Al-quran dalam bahasa yang lebih sederhana supaya mudah dipahami.

Sejumlah sumber sejarah menyebut kitab itu ditulis pada tahun 1691 Masehi oleh seorang ulama Aceh asal Turki. Baba Daud Ar-Rumi, namanya. Beliau juga dikenal dengan nama Teungku Chik di Leupu, sebuah dayah pengajian di sekitar Peunayong yang didirikannya bersama ulama besar Aceh Syeh Abdurrauf As-Singkili yang dikenal sebagai Tengku Syiah Kuala. Sejumlah sumber sejarah menyebut Baba Daud adalah murid dari Teungku Syiah Kuala. Makamnya kini masuk dalam wilayah Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, tak jauh dari Peunayong.

Ke sana lah saya mengarahkan sepeda motor baru-baru ini. Di Jalan Lampanah, di tengah-tengah pemukiman warga, saya menemukan komplek makam berpagar hijau. Saat saya tiba, ada dua pemuda yang sedang melihat-lihat kondisi makam.

Makam Baba Daud tampak mencolok di antara sejumlah makam lain. Makamnya ditutupi atap dan selubung kain putih di sekelilingnya. Di sekelilingnya diberi marmer hitam sebagai pembatas. Tepat di depan makam, terpacak tiga plang disertai tulisan yang menandakan makam itu dilindungi sebagai cagar budaya.


Bernama lengkap Baba Daud Al-Jawiy bin Isma’il bin Agha Mushthafa bin Agha Ali Ar-Rumi, beliau berasal dari Turki. Cendekiawan Turki, Mehmed Ozay dalam tulisannya di jurnal internasional Studi Islamiki yang berpusat di Jakarta, “Rumi’ Networks of al-Sinkili: A Biography of Baba Dawud” mengatakan Baba Daud Rumi diyakini hidup di Aceh antara tahun 1650 hingga 1750 masehi. Tepatnya pada masa Kesultanan Aceh Darussalam abad ke 16 dan 17.

Ozay menggarisbawahi bahwa kitab Masailal Muhtadi karya Baba Daud, tak hanya diajarkan di Aceh tetapi juga di seluruh dunia Melayu termasuk Malaysia, Singapura, Brunei, hingga sebagian Thailand.

Di makam itu, saya menemukan prasasti kecil yang menjelaskan siapa Baba Daud. Seperti kata Mehmed Ozay, di sana antara lain disebutkan,”sebagai seorang ulama besar dalam sejarah Aceh, Syeikh Baba Daud Rumi telah mencurahkan jasanya dalam penulisan tafsir Al-Quran dan tafsir Melayu pertama yang dipakai oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili sebagai referensi utama penulisan tafsir Bayzawi. “
Keterangan singkat di prasasti tentang riwayat hidup Baba Daud Ar-Rumi.

“Hasil karyanya yang lain adalah Risalah Masailal Li Ikhwanil Muhtadi yang telah dijadikan sebagai buku pedoman utama di Aceh dan juga di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Semua karyanya telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam di Dunia Melayu,” bunyi paragraf berikutnya.

Menurut Direktur Rumoh Manuskrip Aceh Tarmizi Abdul Hamid, yang mengoleksi naskah Masailal Muhtadi, Baba Daud Rumi juga membantu menulis naskah kitab tafsir karangan Teungku Syiah Kuala Turjuman al-Mustafid. Itu adalah kitab tafsir al-Quran pertama dan terlengkap yang ditulis di dunia Melayu, dalam bahasa Melayu.

Karya lain Baba Daud Rumi, menurut Tarmizi, yakni Asrar Al Suluk Ila Malik Al-Muluk yang berisikan ajaran tasawuf, tarikat, dan zikir.



***

Di sebelah makamnya, saya menemukan sebuah balai. Bertembok kuning, kuning dan terlihat tua, balai itu masih terurus. Pada bagian depannya, terdapat plangnya bertuliskan ‘Balee Baca Tgk Dileupu’. Menurut penuturan Asmunir, penduduk setempat, balee ini masih berfungsi dengan baik untuk kegiatan dan kebutuhan desa.

“Ini Balee Teungku Dileupu. Untuk orang duduk-duduk, kalau ada kegiatan. Memang dari zaman dulu, ada balee ini, tapi dari kayu, panggung. Untuk anak-anak ngaji,” ujarnya.

Ia mengaku rutin berkunjung untuk membersihkan juga menjaga makam. Karena menurutnya, hal itu menjadi tanggung jawabnya sebagai masyarakat sekitar.

“Untuk bersih-bersih, jaga-jaga juga. Kita sama-sama orang kampung sini juga kan, jaga makam ini,” katanya.

Menurutnya, makam itu terawat dengan baik lantaran ada kesadaran dari masyarakat sedikit untuk menjaga dan merawatnya.

“Terawat. Bahkan kadang ada juga orang luar berkunjung ke sini. Ramai-ramai, lah. Untuk ziarah kubur ini,” kata Azwir.

Azwir yang mengaku sebagai kerabat jauh dari Syekh Daud Ar-Rumi, mengatakan bahwa sering ada kunjungan ke makam tersebut, mulai dari Aceh Utara, Aceh Timur, Padang, hingga Malaysia.

“Dayah yang pertama kali ada di Asia Tenggara, ini lah dia tempatnya. Dulu pertama kan dayah di sini dua, Dayah Manyang dan Dayah Miyub (dayah atas dan bawah). Sekitar enam tahun sebelum Syiah Kuala meninggal, Syekh inilah yang jaga, yang kasih ngaji di sini,” tuturnya.

Azwir mengaku punya hubungan keluarga jauh dengan Syekh Baba Daud Ar-Rumi, namun tidak dapat merincikan silsilahnya karena selisih zaman sudah cukup jauh. Yang jelas, kata dia, kakek buyutnya juga pernah memimpin balee tersebut beberapa tahun setelah Syekh Baba Daud Ar-Rumi meninggal.

“Dulu kan kakek buyut saya yang di sini, dipimpin oleh kakek saya, Teungku Abdul Aziz. Generasi ke generasi, habis itu Teungku Abdul Azid, anaknya. Sekarang ini lah, sama kami ini. Memang silsilah beliau ini sama keluarga kami gak tau juga ya. Dari kakek-kakek saya mungkin,” akunya.

Berdiri di makam itu, saya seperti merasakan aura seorang ulama besar yang telah pergi menghadap Illahi ratusan tahun lalu, namun karyanya abadi sebagai penerang jalan bagi banyak muslim di Aceh dan dunia Melayu. Tak hanya di masa hidupnya, tapi juga hingga kini. Bahkan, namanya kini diabadikan sebagai nama salah satu dusun di Gampong Mulia. Dusun Teungku di Leupue.[]


Editor: Yuswardi

babadaudrumi ulamaaceh ulamanusantara masailalmuhtadi pintoe sejarahaceh