Ada jemaah haji asal Nusantara terpaksa jadi pengemis di tanah Arab karena harta bendanya habis dirampas begal dan penipu.

Naik Haji Berujung Sengsara: Kisah Jemaah Haji Dibegal dan Ditipu di Tanah Suci

Umat Islam duduk menghadap Kakbah | Foto: Hadji Aboebakar dalam "Sedjarah Ka’bah dan Manasik Hadji" (1963)

Raden Adipati Aria Wiranatakusuma adalah Bupati Bandung yang naik haji tahun 1924. Selama di Tanah Suci, ia mencatat semua pengalaman atau peristiwa yang dialaminya. Dari tulisan-tulisan Wiranatakusuma, kita bisa mengetahui betapa melelahkan dan berbahayanya perjalanan haji di masa silam.

“Lamanya perjalanan dari Mekkah ke Madinah sebelas hari. Sampai ke Madinah tiada putus-putusnya orang merampok dan merampas di tengah jalan,” catat Wiranatakusuma.

Para begal dari kalangan suku Badui kerap menyerang para jemaah haji di sepanjang jalur transportasi antarwilayah, terutama di kawasan padang pasir yang tak dijaga pihak keamanan. Seraya merampok, orang-orang Badui yang jahat turut melukai hingga membunuh. Mereka cukup paham bahwa jemaah haji dari Asia pasti membawa banyak bekal makanan, uang, dan pakaian.

Suatu hari, Wiranatakusuma hendak kembali ke Mekkah dari Taif. Rencana ini terpaksa dibatalkan karena ia menerima berita tentang adanya kafilah dari Madinah yang dibegal di tengah jalan. Kafilah tersebut terpaksa kembali ke Madinah dan dalam perjalanan ada di antara mereka yang mati kelelahan akibat cuaca panas gurun pasir. Sementara yang selamat menanggung derita “tak mempunyai uang sesen jua pun lagi”.

Meski demikian, Wiranatakusuma mengakui tak semua orang Badui adalah kriminalis. Ia sendiri pernah ditolong seorang Badui yang baik hati. Suatu ketika, Wiranatakusuma bersama rombongannya pernah beristirahat di sebuah pondok Badui. Hanya saja, jemaah haji asal Nusantara pada masa tersebut lebih condong melihat suku Badui sebagai kelompok pelaku teror, kekerasan, atau pembunuhan.

Selain begal, Wiranatakusuma pun melihat betapa banyaknya penipu di Arab. Para penipu ini suka menyasar jemaah haji asal Jawa. Mereka memahami betul bahwa banyak orang Jawa asal perdesaan pergi naik haji tanpa terlebih dahulu belajar ilmu manasik haji. Bahkan menurut Wiranatakusuma, banyak yang naik haji tetapi tidak menunaikan salat lima waktu.

“Orang desa itu amat besar takutnya meninggalkan mandi junub, setelah bersetubuh dengan bininya. Padahal sembahyang senantiasa ditinggalkan mereka itu,” ejek Wiranatakusuma.

Oleh karena tak tahu bagaimana menyempurnakan rukun haji, ditambah lagi tak bisa bahasa Arab, mau tak mau mereka mencari pembimbing yang ada di Mekkah. Kebanyakan orang Jawa berpandangan bahwa semua orang Arab itu baik dan tak mungkin berkelakuan jahat. Pandangan naif inilah yang kemudian dieksploitasi oleh para penipu yang menyamar sebagai syekh gadungan.

Sebagai contoh, sekelompok jemaah haji disuruh seorang Arab mengumpulkan uang untuk membeli tiang Masjidil Haram. Orang Arab yang berlagak sebagai guru agama itu mengatakan nantinya uang yang terkumpul bakal diwakafkan untuk masjid sehingga pahala yang diperoleh akan amat besar. 

“Orang desa itu segera saja percaya,” tulis Wiranatakusuma. Beberapa waktu kemudian, hal itu terbukti sebagai akal-akalan untuk menguras isi kantong para jemaah. Total uang yang raib sebesar f300.

Jemaah haji dari Jawa juga mudah ditipu oleh pedagang “jimat Arab”. Oleh para penipu, jimat-jimat tersebut dijual dengan harga mahal tetapi disebut keramat. Orang-orang Jawa yang mudah percaya kemudian yakin bahwa membeli jimat adalah wajib.

Bentuk penipuan lainnya yang dicatat Wiranatakusuma ialah praktik semprot air Zamzam ke wajah. Orang-orang Jawa yang tak mengerti mana yang wajib dan mana yang bukan dalam ibadah haji dengan mudah digiring untuk melaksanakan ritual yang seolah-olah diharuskan oleh hukum berhaji. Syekh akan menyemprotkan air ke wajah mereka dari mulut sebanyak tiga kali, dan untuk setiap semprotan dikenai biaya.

Petaka akibat penipuan pernah menimpa seorang perempuan yang naik haji bersama keluarga besarnya. Seorang syekh gadungan mendekati perempuan tersebut untuk menawari jasa bimbingan pelaksanaan haji. Si syekh palsu lantas membawa si perempuan serta keluarganya ke sebuah tempat tinggal yang nyaman. Karena senang diperlakukan dengan baik, si perempuan bersedia diperistri oleh syekh. Keluarga besarnya memberi restu. Namun setibanya di Mekkah, setelah berhasil menguasai banyak uang keluarga istrinya, syekh palsu malah menjatuhkan talak tiga. Si perempuan dan keluarganya kemudian ditelantarkan begitu saja.

“Bahkan beras yang dibawa, dilarikan pula oleh badal jahanam itu,” maki Wiranatakusuma.

Catatan Wiranatakusuma menunjukkan, tak sedikit korban pemerasan, penipuan, dan perampokan di Tanah Suci yang mati kelaparan. Nasib yang selamat juga tak lebih baik. Sebagian ada yang terpaksa mengemis demi bertahan hidup, sebagian lainnya diculik lalu dijual sebagai budak.

“Mereka yang tertipu demikian terpaksalah minta-minta di negeri orang itu, setiap hari diserang lapar dan dahaga. Banyak di antaranya yang mati karena tiada kuat lagi berlawanan dengan sengsara yang amat hebat menyerangnya itu. Akan tetapi tiada seorang jua merisaukannya di sana, karena masing-masing harus menjaga diri sendiri”, ungkap Wiranatakusuma.

Wiranatakusuma menulis pengalaman serta temuannya dalam bahasa Belanda. Catatan berjudul “Mijn reis naar Mekka” itu kemudian terbit sebagai artikel bersambung dalam koran Algemen Indisch Dagblad de Prangebord tahun 1925. Oleh sejarawan Henri Chambert-Loir, teks itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk dimuat dalam buku tebal Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964, Jilid II (2019).

Kejadian-kejadian seperti yang diceritakan Wiranatakusuma setidaknya masih terjadi hingga periode 1950-an. Hal ini bisa diketahui dari catatan seorang sejarawan Aceh yang pernah dua kali naik haji, yakni Haji Aboebakar. Ia mencatat temuan-temuannya dalam Sedjarah Ka’bah dan Manasik Hadji (1963). Menurut Aboebakar, banyak orang naik haji tetapi berujung jadi sengsara karena faktor kebodohan. Fenomena itu menggambarkan masih “rendahnja mutu hadji bangsa Indonesia” pada masa tersebut.[]

sejarahhaji henrichambertloir sejarahindonesia hajiindonesia naikhajimasasilam