Bustami Bikin Meriam Palsu
Bustami selamat dari serangan musuh, sedangkan Jakfar syahid.
Meriam dari Hoc Canton, kapal Belanda yang pernah diserang Teuku Umar | Sumber: koleksi Atjehsch Leger Museum
Banyak tentara Jepang di Aceh enggan pulang ke negaranya setelah kemerdekaan Indonesia. Mereka bersimpati dengan perjuangan rakyat Aceh melawan serangan-serangan Belanda. Selain ikut bertempur bersama pejuang Aceh, anak-anak muda Jepang ini juga masuk Islam lalu memakai nama baru. Masao Shirakawa mengubah namanya menjadi Mahmud Shirakawa (terakhir menetap di Langsa). Demikian pula dengan Itami yang menjadi Bustami setelah masuk Islam.
Bustami adalah petempur yang cerdas bersiasat. Perannya sangat penting dalam mempertahankan garis pantai di sekitar Kutaraja (Banda Aceh). Kemahiran Bustami sebagai teknisi meriam misalnya terlihat dalam pertempuran di bulan puasa tahun 1949.
Setelah makan sahur pada 12 Juli 1949, penduduk Ulee Lheue terkejut dengan rentetan suara ledakan. Kapal-kapal perang Belanda menghujani tempat tinggal mereka dengan peluru senapan serta meriam. Asrama tentara tempat Bustami tinggal turut ditembaki. Ia cepat-cepat menjumpai Komandan Artileri Ulee Lhueu Letnan M. D. Nurdin untuk merencanakan serangan balasan.
Sebagai teknisi meriam, Nurdin dan Bustami sepakat memakai strategi “meriam palsu” untuk menakut-nakuti kapal perang Belanda. Meriam ecek-ecek itu mereka buat dari pohon kelapa, lalu dibariskan di sepanjang pantai, termasuk di bekas benteng Jepang di tepi laut.
Dalam buku Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area (1992), Tengku Abdul Karim Jakobi menjelaskan bahwa di setiap meriam palsu itu diletakkan bom atau granat asli yang dapat diledakkan dengan tali dari jarak jauh. Usai pin granat dilepas dengan tarikan tali, granat pun meledak. Letusan granat di meriam-meriam palsu diiringi dengan tembakan meriam-meriam asli ke arah kapal perang musuh.
Pasukan Belanda panik. Mereka mengira kapal perangnya sedang diserbu habis-habisan dengan cukup banyak meriam. Kepanikan kian menjadi-jadi ketika hantaman peluru meriam asli menembus badan kapal mereka. Dua kapal perang lainnya juga rusak parah dan terbakar.
“Melihat gencarnya tembakan dari pantai, kapal perang Belanda itu menarik diri,” kata Tengku Jakobi
Siasat meriam palsu terbukti berhasil. Namun, perang di bulan puasa itu juga berakhir menyedihkan. Selain menghabiskan sebanyak kurang-lebih sepuluh ton amunisi dari berbagai senjata, ada pejuang yang tewas dan cacat. “Kerugian di pihak kita seorang prajurit bernama Jakfar syahid dan prajurit Ali Diman menderita luka berat atau cacat,” ungkap Tengku Jakobi.
Sementara itu, Bustami selamat. Ia makin dikenal sebagai teknisi meriam yang handal. Sayangnya, tak banyak catatan sejarah mengenai kiprahnya atau di mana ia kini dimakamkan. Bulan lalu, saya sempat mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) di Banda Aceh. Saya berkeliling seorang diri dan memotret beberapa makam. Salah satunya makam Bustami bin Abdul Muthalib.
Makam Bustami bin Abdul Muthalib di TMP Banda Aceh (Foto: Bisma Yadhi Putra)
Mulanya, saya menduga bahwa di situlah Itami dimakamkan dengan nisan bertuliskan nama barunya setelah masuk Islam. Sementara Abdul Muthallib saya duga ayah Itami yang juga jadi mualaf setelah Indonesia merdeka. Dugaan berikutnya: Itami dan ayahnya bersama-sama pergi ke Aceh untuk menunaikan wajib militer. Namun saat mencari informasi lebih lanjut tentang Bustami, saya menemukan dua artikel yang mungkin bisa mengonfirmasi bahwa Bustami di TMP Banda Aceh bukanlah Itami.
Awalnya, saya menemukan artikel di Kompas yang ditulis Iwan Santosa. Dalam artikel tersebut, Santosa menulis beberapa nama prajurit Jepang yang dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan. Lengkap dengan nama baru mereka setelah masuk Islam seperti Abidin (Ueda Kaneo), Moehammad (Shimizu Hiroshi), atau Sulaiman (Fukunishi Hajime). Nama lain yang disebut Santoso adalah “Itami Hideo alias Bustami”.
Berbekal penyebutan itu, saya kemudian menelusuri lebih jauh tentang Itami Hideo, sambil bertanya-tanya apakah sosok ini punya hubungan dengan Aceh. Hasilnya, saya menemukan artikel Profesor Hayashi Eiichi yang berjudul “The Process of Heroizing the Holdout Japanese Soldiers in Indonesia”. Artikel ini dimuat dalam Japan Review volume 6, nomor 2, 2023.
Dalam artikelnya, Profesor Eiichi menyajikan sedikit informasi tentang Itami Hideo. Dia menulis: “Itami Hideo lahir pada tahun 1923 di Osaka. Dia dipanggil (untuk ikut wajib militer) saat sedang bekerja di sebuah pabrik besi dan pergi ke Aceh, Sumatra, setelah berlatih dengan Korps Pelatihan Angkatan Udara ke-3. Dia termasuk dalam batalion pasukan terjun payung dan memimpin pasukan sukarela lokal untuk menjaga daerah sekitar lapangan terbang ketika perang berakhir dengan kekalahan”.
Profesor Eiichi juga menerangkan bahwa pangkat Itami Hideo adalah Letnan Dua Angkatan Darat. Itami Hideo membantu perjuangan bangsa Indonesia dengan menyerahkan senjata-senjata milik pasukan Jepang kepada para pejuang lokal. Hanya saja, Profesor Eiichi tak menyinggung sedikit pun soal nama “Bustami” sehingga menyisakan sedikit keraguan apakah Itami Hideo ini adalah benar-benar Bustami yang pernah bertugas di Aceh.
Jika benar Itami Hideo adalah Bustami ahli meriam di Aceh, itu artinya ia tak seperti kebanyakan prajurit asal Jepang yang terus menetap di Aceh setelah penyerahan kedaulatan Indonesia (1949). Mungkin saja ia pergi ke Jawa karena ada tugas lain, mungkin karena ingin mencari pengalaman baru, mungkin juga hendak berobat hingga akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di TMP Kalibata. Belum ada keterangan pasti mengenai ini.
Yang jelas, Itami alias Bustami adalah satu dari sekian banyak pejuang kemerdekaan asal Jepang yang terlupakan.[]