Gara-Gara Golkar, Banyak Keuchik Sakit Kepala
Mengontrol desa merupakan strategi politik Golkar Aceh sejak Pemilu 1971.
Surat perintah pengangkatan keuchik pendukung Golkar di Aceh Besar | Sumber: Bisma Yadhi Putra/Pintoe.co
PINTOE.CO - Sebulan sebelum Pemilu 1987, Kepala Bulog dan Menteri Koperasi Bustanil Arifin pergi ke Aceh untuk memimpin kampanye pemenangan Golkar. Ia meminta para pengusaha lokal menyumbang uang untuk mendanai kampanyenya. Ratusan juta pun terkumpul cepat.
Uang itu kemudian dibagi-bagikan kepada camat serta keuchik di seluruh Aceh. Masing-masing camat dapat 500 ribu, sedangkan keuchik kebagian 100 ribu per orang. Strategi ini dipakai untuk mencegah terulangnya kekalahan Golkar dari PPP dalam Pemilu 1977 di Aceh.
Tokoh senior Golkar yang juga menjabat Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, mengakui adanya praktik bagi-bagi uang tersebut, tetapi ia menilainya sebagai hal biasa. Kata Ibrahim Hasan, Golkar Aceh sudah sejak lama mengumpulkan sumbangan dari pengusaha untuk membangun masjid dan menyantuni rakyat. Namun menjelang Pemilu 1987, uang yang terkumpul dibagikan kepada camat dan keuchik di seluruh Aceh.
“Uang itu sumbangan pengusaha Aceh, terutama yang berdiam di Jakarta. Itu hanyalah uang lelah dan tak ada kaitannya dengan memenangkan Golkar,” kilah Ibrahim Hasan sebagaimana dilaporkan Tempo dalam “Misteri di Kotak Suara” di edisi 4 Juli 1992.
Meskipun Ibrahim Hasan menyebut “uang lelah” itu tak ada hubungannya dengan pemilu, kenyataannya para penerima uang diwajibkan melelahkan diri untuk “memenangkan Golkar”. Keuchik yang sudah kena siraman rupiah Golkar harus membuat Golkar menang mutlak di kampung masing-masing.
Dalam edisi 20 Juni 1992, majalah Tempo menerbitkan artikel berjudul “Menang tapi Kehilangan”. Artikel ini mengisahkan dua keuchik yang tertekan setelah penghitungan suara.
Di Gampong Teumareum, Kabupaten Aceh Barat (sekarang dalam Kabupaten Aceh Jaya), Ibrahim Abbas langsung mengundurkan diri begitu penghitungan suara selesai. Di kampung yang ia pimpim, Golkar kalah. Abbas lekas memasukkan stempel desa serta peralatan administrasi lainnya ke dalam kotak suara yang kemudian diangkut ke kantor camat.
“Kalau rakyat memerlukan saya, tentu mereka akan memenuhi permintaan saya untuk menusuk Golkar,” kata Abbas.
Keputusan sama juga diambil Burhanuddin, Keuchik Gampong Aneuk Paya di Aceh Besar. Mayoritas warganya menjatuhkan pilihan kepada PPP, partai Islam yang logonya cukup mencolok.
“Sejak hari pemilu dan Golkar kalah, saya sudah mengumumkan pada masyarakat bahwa saya mengundurkan diri,” kata Burhanuddin. Surat pengunduran diri langsung diserahkan kepada camat dan bupati.
Mengontrol desa merupakan strategi politik Golkar Aceh sejak Pemilu 1971. Hal ini dibuktikan oleh arsip-arsip Golkar Aceh sendiri. Ada sebuah dokumen berjudul "Memori Singkat tentang Memenangkan Golkar dalam Pemilu di Gampong2/Desa dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh". Dokumen yang berstatus “Sangat Rahasia” ini memuat perintah pemecatan terhadap semua keuchik yang menolak jadi juru kampanye Golkar di tingkat desa.
Di dalam dokumen itu tertulis: “Terhadap leader formil (terutama Keutjhik dan Imuem Mukim) jang merasa keberatan untuk ikut membentuk Golkar dalam gampongnja, maka terhadap mereka tersebut oleh bupati atau wali kota kepala daerah diambil suatu kebidjaksanaan agar diperhentikan sadja dengan hormat dari kedudukannja selaku Pamong Desa. Untuk penggantiannja dapatlah ditunjuk seorang pedjabat lain yang berpengaruh dan menjetudjui Golkar dengan tidak melalui pemilihan sebagaimana biasanja…” (Arsip DPKA, nomor AC08-218).
Sebelum pemilu, sebetulnya upaya pemecatan keuchik-keuchik yang anti-Golkar sudah dimulai. Selagi pemecatan terhadap mereka sedang diurus oleh pejabat di kabupaten, pengurus Golkar bergerak cepat dengan menunjuk tokoh lain untuk membentuk cabang Golkar di kampung yang keuchiknya bakal segera dipecat. Artinya sebelum seorang keuchik anti-Golkar diganti, Golkar langsung melancarkan daya tekan terhadap keuchik tersebut.
Di Gampong Lampaseh Kota, sebuah kampung di Kota Banda Aceh, keuchiknya menolak masuk Golkar karena ingin setia sebagai kader Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Sambil menunggu keuchik kader IPKI ini lengser, para pemain politik di Golkar Banda Aceh langsung merangkul seorang tokoh lain di Lampaseh Kota. Sosok yang disebut “alim serta tukang dakwah” itu bersedia diangkat sebagai Ketua Sekber Golkar Desa Lampaseh Kota (Arsip DPKA, nomor AC08-3).
Para ahli politik Golkar di Aceh paham betul untuk membuat keuchik dari pihak lawan politik membelot adalah pekerjaan sulit. Maka, akan lebih mudah kalau sejak awal yang dijadikan keuchik ialah orang pro-Golkar atau minimal netral. Siasat ini pernah diterapkan di Kabupaten Aceh Besar sebelum Pemilu 1982.
Pada 20 Juni 1979, tiga tahun sebelum Pemilu 1982, Bupati Aceh Besar T. Bachtiar Panglima Polem mengeluarkan instruksi resmi agar semua calon kepala desa baru “harus benar-benar orang Golkar”. Instruksi ini disampaikan kepada seluruh camat lewat telegram bernomor R 141.015.
Teks dalam telegram itu semuanya ditulis dengan huruf besar. Bunyi perintahnya: “TIAP PENGGANTIAN IMEUM MUKIM, KEUCHIK DAN SEKRETARIS GAMPONG TETAP HARUS DIPEGANG OLEH ORANG ORANG GOLKAR ATAU SEKURANG-KURANGNYA ORANG-ORANG NON PARPOL. DIMINTA KEPADA SAUDARA PELAKSANAAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA DENGAN PENUH TANGGUNG JAWAB” (Arsip DPKA, nomor AC13-21/2).
Perintah tersebut jelas: kalau tak ada orang pro-Golkar yang bisa diangkat sebagai keuchik, maka jangan sampai posisi keuchik diduduki oleh lawan politik Golkar. Dalam hal ini, Golkar berprinsip “kalau aku tak dapat, lawanku juga tak boleh dapat”.