Bersama lima puluh khadam lainnya, Sawali bekerja keras merawat Masjid Raya dengan tujuan utama mendapat rida Allah.

Tulus Hati Sawali untuk Masjid Raya Baiturrahman

Syawali sedang menjalankan tugas membersihkan Masjid Raya Baiturrahman | Foto: PINTOE.CO/Shabibah

PINTOE.CO -  Kehidupan Sawali selalu dekat dengan tiga hal: sepeda, ember, dan Allah. Selepas bangun tidur, ia lekas berangkat ke tempat kerjanya. Roda sepedanya menggelinding di atas aspal yang masih dingin, terlembapi embun, belum tersinari matahari. Badannya dibungkus dengan baju kerja warna hijau terang. Di bagian punggung baju itu tertera teks yang menjelaskan identitas profesi Sawali: “Khadam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh”.

Kata “khadam” lebih enak dibaca ketimbang istilah-istilah kurang manusiawi seperti “pelayan”, “pembantu”, atau “orang suruhan”. Satu di antara banyak cara memuliakan orang yang kerjanya membersihkan masjid ialah dengan menyebut mereka dengan nama-nama yang tidak terasa kasar.

Begitu tiba di Masjid Raya, Sawali langsung ke ruang penyimpanan barang untuk mengambil selabar dan ember. Dengan cekatan, ia mulai mengepel halaman masjid, terutama bagian tangga. Membersihkan parit dan tangga Masjid Raya adalah tugas utamanya. Saat ditemui Pintoe.co, Sawali lagi repot mengatasi genangan-genangan air di pelataran masjid. Semalam, hujan lebat mengguyur Banda Aceh.

Namun, Sawali tak pernah mengutuk hujan; tak pernah membenci genangan. Ia lebih suka bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya. Waktu ia menceritakan tantangan pekerjaannya, ia sedang tidak mengeluh, tetapi semata menggambarkan situasi yang dihadapi.

“Hujan. Banyak kali kotoran. Yang parit ini susah (dibersihkan). Karena kalau setelah hujan, kita sorong airnya (agar mengalir), airnya (malah) balik lagi,” kata Syawali.

Sawali berasal dari Aceh Tamiang. Ayahnnya dahulu juga seorang Khadam Masjid Raya. Keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan. Usai bencana Tsunami Aceh 2004, sang ayah meninggal dunia dan Syawali “mewarisi” pekerjaan tersebut.

“Duluan bapak saya (jadi khadam). Habis tsunami, bapak meninggal. Gantian saya (yang jadi khadam),” kenang Sawali.

Sawali sejak muda sudah mengenal Masjid Raya. Selain karena ayahnya bekerja di situ, ia pun sempat tinggal di sebuah kamar milik masjid setelah Musabaqah Tilawatil Quran yang digelar di Lapangan Blang Padang sebelum bencana tsunami. Hanya saja, Sawali tidak sempat menyaksikan bencana tersebut karena telah kadung keluar dari Banda Aceh. Ia kembali usai bencana di Minggu pagi itu menghancurkan kota.

@pintoedotco Rakan Pintoe, kali ini kita berkenalan dengan Pak Sawali, salah satu khadam kebersihan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kalian mau bilang apa untuk Pak Sawali? #sawalj #masjidrayabandaaceh #masjidbaiturrahman #aceh #beritaaceh ? suara asli - pintoedotco


Pekerjaan bersih-bersih masjid biasanya usai sekitar jam sepuluh pagi. Sawali melepas topi petani favoritnya yang sudah ia pakai cukup lama. Caping adalah ciri khasnya. Mengenakan topi semacam itu di masjid yang terletak di tengah kota tentu membuat Sawali mencolok.

Sambil beristirahat, Sawali yang sudah berusia 52 tahun sering merenungi kehidupan senjanya. Sejauh ini, hidupnya sudah dianugerahi lima anak dari satu-satunya istri yang dicintai. Anak pertamanya bekerja di Masjid Raya pula, yakni sebagai penjaga sandal pengunjung di pintu masuk bagian bawah.

“Anak ada lima. Yang paling besar sudah nikah. Sudah kerja sini juga. Yang kecil masih SD, kelas lima,” ungkap Sawali.

Gaji sebagai khadam terbilang pas-pasan: Rp2,6 juta sebulan. Akan tetapi, Sawali tidak mengeluh dengan besaran rupiah yang diterimanya. Perasaan ikhlas bekerja di rumah Allah membuatnya selalu bisa bersyukur. Ia tekun bekerja dari jam delapan pagi sampai pukul setengah dua siang. Di lain waktu, ia kena sif sore.

Bersama lima puluh khadam lainnya, Sawali bekerja keras merawat Masjid Raya dengan tujuan utama mendapat rida Allah.[]

 

Editor: Bisma Yadhi Putra

masjidrayabaiturrahman petugaskebersihan rumahallah masjid pintoe