Aceh dulu memiliki sebuah cita-cita bersama lewat Gerakan Aceh Merdeka. Setelah perdamaian disepakati, pertanyaannya kini: apa ide besar baru yang layak diperjuangkan Aceh sebagai tujuan bersama?

Golden Age Islam dan Aceh: Mengapa Tradisi Ilmu Harus Jadi GAM Baru

Ilustrasi: Pintoe.co/AI

PINTOE.CO - Pada suatu pagi di Baghdad abad ke-9, para ilmuwan dari berbagai negeri berkumpul di Bayt al-Hikmah. Di ruangan itu, naskah Yunani, Persia, India, dan Mesir diterjemahkan, diuji, dan dikembangkan. Matematikawan membahas pola angka, dokter mempelajari anatomi, sementara ahli astronomi mengukur gerakan bintang dengan instrumen buatan mereka sendiri.

Itulah gambaran masa puncak kejayaan peradaban Islam. Dunia mengenalnya sebagai The Golden Age of Islam. Sebuah masa keemasan yang tercipta karena pemimpinnya punya wawasan keilmuan. Saat itu, Baghdad menjadi episentrum pusat ilmu pengetahuan, salah satu kota paling maju secara intelektual di dunia.

Bagi Aceh, kisah Golden Age Islam bukan sekadar nostalgia dari sejarah yang jauh. Tradisi keilmuan dayah, karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, serta dinamika intelektual masa kesultanan menunjukkan gema suasana ilmiah yang serupa dengan Baghdad, Kordoba, hingga Bukhara. Semuanya dibangun oleh rasa ingin tahu yang besar dan keterhubungan dengan dunia.

Masa Keemasan yang Mengubah Arah Sejarah

Golden Age Islam berlangsung dari abad ke-8 hingga abad ke-14, ketika dunia Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dinasti Abbasiyah menjadikan pendidikan dan riset sebagai prioritas. Kota-kota besar menghadirkan perpustakaan raksasa, bimaristan sebagai rumah sakit modern, observatorium, serta sekolah dan universitas yang terbuka bagi berbagai etnis dan agama.

Dari lingkungan seperti itu lahir ilmuwan yang karya-karyanya berpengaruh lintas peradaban.


Para Pemikir yang Menggeser Batas Pengetahuan

Pada masa itulah lahir para tokoh dan pemikir yang mengubah cara dunia memahami sains. Mereka antara lain:

  • Al-Khwarizmi, peletak dasar aljabar dan algoritma.

  • Ibnu Sina, dokter dan filsuf dengan karya yang dipakai berabad-abad di Eropa.

  • Ibnu al-Haytham, pelopor metode ilmiah dan ahli optik modern.

  • Al-Razi, pengembang sistem diagnosis medis.

  • Al-Biruni, ilmuwan serbabisa dengan kontribusi di banyak bidang.

  • Ibnu Rusyid, filsuf besar yang memengaruhi perkembangan pemikiran Eropa.

Mereka tidak sekadar menerima ilmu dari luar, tetapi mengembangkannya menjadi lebih maju dan lebih presisi.


Kota-Kota Ilmu yang Menggerakkan Era Baru

Dunia Islam kala itu memiliki sejumlah pusat pengetahuan:

  • Baghdad: matematika, astronomi, dan penerjemahan.

  • Kordoba: perpustakaan megah dan budaya ilmiah yang terbuka.

  • Kairo: teologi, kedokteran, dan riset keagamaan.

  • Samarkand dan Bukhara: rumah bagi matematikawan dan astronom ternama.

Di Nusantara, Samudera Pasai dan Aceh Darussalam pada masa kemudian ikut memainkan peran penting sebagai pusat ilmu dan perdagangan di Asia.


Bagaimana Ilmu Itu Mengalir ke Dunia?

Kemajuan intelektual dunia Islam menyebar ke Eropa melalui Andalusia, perdagangan internasional, pusat penerjemahan di Toledo, hingga kontak budaya selama Perang Salib. Kumpulan gagasan ini menjadi fondasi bagi Renaissance, periode kebangkitan kembali minat terhadap seni, sastra, dan ilmu pengetahuan dari peradaban klasik Yunani dan Romawi Kuno yang terjadi di Eropa dari abad ke-14 hingga ke-17. Banyak aspek Renaissance tak bisa dilepaskan dari kontribusi ilmuwan Muslim.
 

Pelajaran Penting untuk Aceh Hari Ini
Aceh punya sejarah gemilang dalam peradaban Islam: masa Samudra Pasai dan era Sultan Iskandar Muda. Namun, ratusan tahun berlalu, era kejayaan itu kini hanya sebatas kebanggaan sejarah. Setelah itu, kita nyaris sulit mencari definisi kebanggaan baru sebagai orang Aceh. 

Periode 1976 hingga 2005, Aceh punya satu tujuan besar: memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, setelah Perjanjian Damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia diteken di Helsinki pada 15 Agustus 2005, dan Aceh menerima otonomi khusus, Aceh nyaris tak lagi punya satu tujuan bersama yang jadi pembeda. Terjebak dalam rutinitas. Bangun jalan, bangun sekolah baru, bangun masjid walau jamaahnya yang itu-itu saja, lalu pejabatnya terima jatah fee proyek.   

Tak ada lagi semangat membuncah untuk mencapai satu arah baru dengan cita-cita besar untuk diwujudkan bersama. Memang, ada beberapa intelektual muda yang mencoba mencetuskan gagasan baru. Namun, semuanya berakhir di makalah ilmiah atau kertas kerja. Tak ada tindak lanjutnya. 

Padahal, jika dulu Aceh punya cita-cita bersama lewat GAM, setelah kesepakatan damai sudah seharusnya GAM menjadi Gerakan Aceh Maju. 

Golden Aceh Islam adalah bukti bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan. Era ini menawarkan pelajaran yang relevan bagi Aceh: 

  • Keterbukaan mendorong kemajuan.

  • Ilmu berkembang ketika dihargai.

  • Keberanian berpikir adalah bagian dari warisan intelektual Islam.

  • Pendidikan harus menjadi pusat kehidupan sosial.

  • Anak muda perlu ruang untuk bertanya dan bereksperimen.
     

Menutup Sejarah dengan Arah ke Depan

Golden Age Islam mengajarkan bahwa peradaban besar lahir ketika ilmu ditempatkan sebagai pusat kehidupan. Aceh memiliki modal sejarah untuk menuju ke arah yang sama—tradisi keilmuan dayah, interaksi global sejak masa Samudera Pasai, hingga warisan intelektual yang pernah membuat Aceh menjadi simpul penting dalam jaringan ilmu dunia.

Hari ini, setelah era konflik dan setelah otonomi khusus diterima, Aceh membutuhkan cita-cita baru yang lebih besar daripada sekadar membangun infrastruktur atau mempertahankan rutinitas birokrasi. Jika dahulu Aceh pernah menyatukan energi kolektifnya dalam Gerakan Aceh Merdeka, maka pada masa damai ini Aceh seharusnya melahirkan Gerakan Aceh Maju—sebuah orientasi bersama untuk menghidupkan kembali tradisi ilmu, menempatkan pendidikan sebagai prioritas tertinggi, dan menyiapkan generasi yang mampu bersaing dalam dunia yang semakin ditentukan oleh pengetahuan.

Tantangan terbesar kita bukan lagi perang, tetapi keberanian untuk membangun budaya intelektual yang modern, terbuka, dan berlandaskan rasa ingin tahu. Sebuah budaya yang menghidupkan kembali semangat Bayt al-Hikmah di Baghdad dalam bentuk yang paling relevan bagi Aceh hari ini: riset yang kuat, literasi yang luas, dan ruang berpikir yang merdeka dengan membuka diri pada gagasan-gagasan baru dari seluruh dunia.

Itu fondasi yang dulu mengangkat Baghdad, Kordoba, dan Samarkand menjadi .pusat peradaban.  Bangsa yang maju bukan ditentukan oleh narasi heroik masa lampau, tetapi oleh keberanian memilih arah baru yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Baghdad dan Kordoba pernah menjadi pusat cahaya yang menerangi dunia. Kini pertanyaannya sederhana namun menentukan: apakah Aceh siap menjadikan ilmu pengetahuan sebagai GAM baru—cita-cita kolektif yang benar-benar diperjuangkan bersama? []

goldenageofislam goldenage masakeeemasanislam acehdangoldenageofislam BaytalHikmah gerakanacehmaju gambaru