Anthony Reid dan Marwah Aceh di Panggung Dunia
Ia menulis tentang rakyat, bukan hanya para sultan. Tentang mereka yang menimbang lada di pasar, menyalakan pelita di surau, atau mengantar anak ke meunasah.

Anthony Reid | Foto: thebritishacademy.ac.uk
PINTOE.CO - Di sebuah sudut perpustakaan Cambridge yang dipenuhi aroma kertas tua dan peta-peta usang, Anthony Reid pertama kali bertemu dengan Aceh lewat catatan-catatan lama. Pada akhir 1960-an, sebagai mahasiswa doktoral, ia menyelami arsip-arsip kolonial tentang Sumatra Utara, menemukan kisah sebuah negeri yang gagah menentang kekuatan Eropa. Pelabuhan Aceh yang ramai, kapal-kapal dari Gujarat dan Tiongkok, serta semangat Kesultanan yang tak pernah padam memikat hatinya.
Dalam dokumen-dokumen sejarah yang dilupakan itu, ia melihat Aceh sebagai sebuah kerajaan yang pernah menjalin diplomasi dengan Inggris, mengirim utusan ke Istanbul, dan menjadi simpul penting dalam jaringan dagang Samudra Hindia.
Pertanyaan sederhana—mengapa nama sebesar Aceh nyaris tak terdengar dalam narasi sejarah dunia?—mengantar Reid pada cinta intelektual yang kelak menjadi napas hidupnya. Dari sanalah sejarah Aceh kembali menemukan suaranya.
Hasil penggalian Reid melahirkan karya pertamanya: The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858–1898. Terbit pada 1969, Reid menggambarkan perjuangan Aceh melawan Belanda dan intrik diplomasi dengan Inggris. Buku ini, yang kemudian diterjemahkan sebagai Asal Mula Konflik Aceh, menjadi pintu masuk Reid ke jiwa Tanah Rencong, menyalakan cinta seumur hidup untuk menceritakan sejarah Aceh dengan pena penuh hormat.
Reid bukan sekadar sejarawan. Ia pencerita ulung yang menghidupkan denyut nadi Aceh lewat pendekatan "sejarah total"—metode yang tidak hanya mengutamakan politik elite, tetapi juga kehidupan sehari-hari rakyat. Baginya, sejarah bukan sekadar peristiwa, tapi juga aroma pasar, denting azan, dan kisah para pedagang lada di bawah terik matahari. Aceh, dalam narasi Reid, bukan nama mati dalam dokumen kolonial, melainkan sebuah peradaban bernyawa yang berani, merdeka, dan penuh harga diri.
Jejak Marwah dari Bandar Aceh ke Panggung Global
Dalam The Contest for North Sumatra, Reid mengajak pembaca menyusuri pertarungan diplomatik dan militer Aceh pada paruh akhir abad ke-19. Ia menulis bagaimana Kesultanan Aceh, sebagai salah satu kekuatan Islam maritim terbesar kala itu, mempertahankan kedaulatannya lewat negosiasi lihai dengan Inggris dan Turki Utsmani, bahkan ketika Belanda menggempur dari barat. Reid menggambarkan perang bukan sekadar baku hantam bersenjata, tapi juga adu strategi, kehormatan, dan daya tahan psikologis para pemimpinnya—Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan tokoh-tokoh lainnya.
Dampak buku ini melampaui kampus dan ruang seminar. Di Aceh, The Contest for North Sumatra menjadi cermin untuk memandang kembali martabat sejarah yang lama dilupakan. Reid menegaskan bahwa Aceh bukan wilayah pinggiran, tapi poros dunia yang berdaulat. Ia membuka mata banyak orang Aceh bahwa mereka punya warisan kejayaan yang patut dibanggakan.
Berselang satu dekade, Reid menerbitkan karya lanjutannya: The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979). Buku ini menyelami babak penuh gejolak: revolusi sosial Aceh 1945–1949. Kali ini, Reid menyoroti rakyat biasa—petani, pedagang, ulama—yang menggulingkan tatanan lama demi mimpi kemerdekaan. Dalam narasi yang empatik dan jujur, ia menampilkan Aceh sebagai wilayah yang bukan hanya berani melawan penjajah, tapi juga berani menantang ketidakadilan internal.
Buku ini, seperti yang lain, mendapat tempat khusus di hati masyarakat Aceh. Reid memperlihatkan bahwa sejarah bukan milik segelintir elite, tapi milik semua orang yang rela berdarah-darah demi harapan. Ia mengangkat peran rakyat sebagai penentu arah sejarah, bukan sebagai penonton.
Dalam karya monumentalnya Southeast Asia in the Age of Commerce, Reid menempatkan Aceh sebagai salah satu "negara mesiu" (gunpowder states) di dunia Islam, sejajar dengan Utsmaniyah di Turki dan Mughal di India. Ia menulis:
"Aceh at 17th century apogee were strong enough to develop some state nationalism based on military mobilisation, dynastic pride and Islam."
Itu bukan sekadar pengakuan historis, tapi pemulihan martabat Aceh sebagai kekuatan global yang terlupakan. Reid menggambarkan Kesultanan Aceh pada abad ke-16 hingga ke-17 sebagai kekuatan maritim yang menyaingi imperium Eropa. Pelabuhan Aceh, dengan kapal-kapal dari Gujarat, Tiongkok, dan Arab, adalah pusat dunia, tempat rempah-rempah, sutra, dan gagasan bertemu.
Reid menunjukkan bagaimana Aceh, dengan armada lautnya yang perkasa, menolak monopoli Portugis dan Belanda, mempertahankan kedaulatan dengan pedang dan diplomasi. Bagi rakyat Aceh, karya ini adalah pengingat bahwa nenek moyang mereka pernah menjadi raja di lautan, sebuah kebanggaan yang bergema hingga kini.
Melalui An Indonesian Frontier (2004), Reid menelusuri lapisan sosial Aceh: peran uleebalang, kekuatan ulama, memori tentang revolusi, dan ekonomi lada yang menjadi nadi pelabuhan. Ia menulis tentang rakyat, bukan hanya para sultan. Tentang mereka yang menimbang lada di pasar, menyalakan pelita di surau, atau mengantar anak ke meunasah.
Ia menulis Aceh dari dalam, bukan dari kejauhan.
Dari Cambridge ke Tsunami Aceh
Tak mengherankan jika gagasan-gagasan Reid turut bergema dalam narasi perjuangan identitas Aceh, terutama pada era Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meskipun tidak ada kutipan langsung dari Hasan di Tiro, pendiri GAM, keselarasan visi tentang kedaulatan Aceh dalam karya Reid dengan retorika perlawanan GAM sulit diabaikan. Reid, secara tidak langsung, menyediakan kerangka historis yang memperkuat keyakinan bahwa Aceh pernah berdiri sendiri, dan bisa berdiri lagi jika mau.
Anthony Reid juga terlibat langsung dalam upaya menghimpun kembali sejarah Aceh yang digulung gelombang tsunami. Difasilitasi BRR NAD-Nias, Anthony Reid yang saat itu memimpin Asia Research Institute di National University of Singapore menginisiasi dan hadir sebagai pembicara utama dalam International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAOS). Tubuhnya memang sudah renta, tapi matanya masih memancarkan semangat seperti ketika pertama kali membuka peta Sumatra di Cambridge puluhan tahun sebelumnya.
Di sanalah untuk pertama kali saya melihatnya. Sebagai salah satu yang terlibat dalam kepanitiaan, saya sempat berinteraksi langsung dengannya di sela-sela konferensi. Saat mengetahui latar belakang saya sebagai wartawan, Reid menepuk pundak saya seraya berkata,”Aceh adalah salah satu kisah terbesar yang pernah saya tulis, dan saya jatuh cinta karenanya.” Di situlah saya tahu: Reid tak sekadar meneliti Aceh. Dia mencintainya.
Penghargaan demi penghargaan menghampirinya. Salah satunya, Fukuoka Asian Culture Prize (2002), mengukuhkan kiprahnya sebagai salah satu sejarawan Asia Tenggara paling berpengaruh. Tapi di mata orang Aceh, penghargaan itu hanyalah formalitas. Sebab yang sesungguhnya mereka tahu: Anthony Reid adalah kawan lama yang dengan setia menceritakan kisah Aceh kepada dunia.
Api yang Tak Pernah Padam
Kini, ketika Anthony Reid berpulang pada 8 Juni 2025 dalam usia 84 tahun, Tanah Rencong kehilangan seorang penutur setia. Tapi api yang ia nyalakan tetap berkobar. Di setiap halaman bukunya, dalam setiap kisah tentang pelabuhan-pelabuhan ramai, pasukan yang tak gentar, dan rakyat yang bersuara, Reid mengabadikan semangat Aceh sebagai bangsa yang bermartabat.
Mengenang Anthony Reid bukan sekadar menatap ke belakang. Ia adalah ajakan untuk menatap ke depan, dengan sejarah sebagai lentera. Aceh—dengan luka, keindahan, dan keberaniannya—berhutang padanya. Dan kini saatnya membalas: dengan menjaga ingatan, menyalakan kembali marwah, dan menuliskan bab-bab baru dari kisah yang pernah ia mulai.
Melalui pena Reid, Aceh bukan sekadar tempat. Ia adalah legenda dunia yang hidup—dan akan terus hidup.[]