Kini, 15 tahun setelah Hasan Tiro wafat, kita harus bertanya jujur: apakah cita-citanya benar-benar telah kita wujudkan?

Hasan Tiro, 15 Tahun Wafat: Apakah Kita Masih Menjaga Warisannya?

Penulis bersama almarhum Teungku Hasan Muhammad di Tiro | Foto: Dok. Pribadi

PINTOE.CO - Lima belas tahun lalu, Teungku Hasan Tiro menghembuskan napas terakhirnya. Hari ini, kita mengenangnya—dan bertanya: apakah warisannya masih hidup di tanah yang ia cintai sepenuh hati?

Hari ini, 3 Juni 2025, rakyat Aceh memperingati 15 tahun wafatnya Teungku Hasan Muhammad di Tiro—pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pejuang martabat, dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Hasan Tiro bukan sekadar tokoh politik. Ia adalah pemilik mimpi besar: Aceh yang bermartabat, sejahtera, dan berdaulat atas nasibnya sendiri.

Setelah lebih dari 30 tahun dalam pengasingan, ia akhirnya kembali ke tanah kelahiran pada 2008, pasca-Perjanjian Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata antara Aceh dan Jakarta.

Saya adalah saksi dari salah satu momen penting itu. Sebagai jurnalis, saya berkesempatan menjemput Hasan Tiro di Hotel Concorde, Shah Alam, Malaysia, ketika ia transit dalam perjalanan pulang ke Aceh—pertama kalinya setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri.

Saya masih ingat jelas momen ketika kami berjabat tangan di kamar hotel itu. Dalam foto yang saya simpan hingga kini, terlihat ia mengenakan jas hitam rapi, dasi merah marun, dan senyum lebar yang mengembang. Ia tertawa lepas, seperti seorang ayah yang kembali ke rumah setelah bertahun-tahun terpisah dari anak-anaknya.

Yang saya lihat saat itu bukan sosok politisi ambisius, tetapi seorang lelaki tua yang rapuh namun bercahaya oleh keyakinan. Ia tidak membawa kebencian, hanya cinta. Sorot matanya teduh, ucapannya tenang, dan yang paling terasa: ketulusannya untuk Aceh dan rakyatnya yang tak bisa dipalsukan.

Kini, 15 tahun setelah wafatnya, kita harus bertanya jujur: apakah cita-citanya benar-benar telah kita wujudkan? Aceh hari ini memang tanpa dentum senjata. Tapi luka belum benar-benar sembuh. Dana Otonomi Khusus (Otsus)—yang sejak 2008 telah mengalir lebih dari Rp100 triliun ke Aceh—belum cukup terasa manfaatnya bagi rakyat bawah. Dana yang seharusnya menjadi kompensasi atas luka perang, justru kerap tersendat dalam birokrasi, tersesat dalam perencanaan, bahkan raib dalam berbagai modus korupsi.

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan penganggaran miliaran rupiah untuk rehabilitasi rumah dinas dan pembelian mobil mewah para pejabat dewan. Ironisnya, itu terjadi di tengah masih tingginya angka pengangguran dan Aceh masih menyandang status sebagai provinsi termiskin di Sumatera. (Lihat: Astaghfirullah! Rehab Rumah Dinas Anggota DPR Aceh Rp47 Miliar, Pengadaan Mobil Pimpinan Rp8,7 Miliar)

Apakah itu balasan yang layak bagi Hasan Tiro—yang wafat tanpa harta, tanpa keluarga di sisi, hanya 'ditemani' keyakinannya pada Aceh?

Saat ini Aceh dipimpin oleh Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang tak lain adalah murid langsung Hasan Tiro. Ia pernah dikirim ke Libya tahun 1986 untuk menerima pelatihan militer dan ideologi nasionalisme Aceh dari sang Wali sendiri.

Sebagai pewaris langsung pemikiran dan kepercayaan Hasan Tiro, Muzakir Manaf menanggung tanggung jawab moral yang berat. Ia diharapkan bukan sekadar melanjutkan kekuasaan, tetapi menjaga arah perjuangan tetap menyala: berpihak pada rakyat kecil, menjaga integritas, dan memastikan Dana Otsus digunakan untuk keadilan sosial, bukan kemewahan segelintir elite.

Peringatan wafat Hasan Tiro seharusnya menjadi cermin, bukan hanya kenangan. Kita butuh bercermin dengan jujur: sudahkah kita menjalankan amanah sejarah? Sudahkah kita membalas cinta Hasan Tiro dengan membangun Aceh yang bermartabat, bukan Aceh yang terjebak pada keserakahan?

Sebagai seseorang yang pernah menatap langsung matanya, saya tahu ia mencintai tanah ini dengan tulus. Hari ini, cinta itu hanya bisa kita balas dengan keberanian berkata cukup—cukup kemiskinan, cukup korupsi, cukup pengkhianatan terhadap idealisme.

Hasan Tiro telah tiada, tapi warisannya belum mati. Ia akan tetap hidup, selama kita berani meneladani semangatnya—dengan kejujuran, pengorbanan, dan keberpihakan sejati kepada rakyat. Karena membela Aceh bukan hanya soal senjata di masa lalu, tapi tentang keberanian menjaga amanah di masa kini.[]


Penulis adalah jurnalis. Pada tahun 2008 ikut menjemput Hasan Tiro di Shah Alam, Malaysia, saat sang Wali dalam perjalanan pulang ke Aceh setelah lebih dari tiga dekade pengasingan.

hasantiro otonomikhususaceh pemerintahaceh opiniyuswardi