In Memoriam: Tgk Dr Hasan Muhammad di Tiro (Pengalaman Personal Kadis Pendidikan Aceh)
"Kita ini bagian dari orang-orang yang menjaga negara ini, bukan bagian dari yang mencari keuntungan dari negara ini” (Teungku Hasan Muhammad di Tiro).

Penulis bersama almarhum Teungku Hasan Muhammad di Tiro | Foto: Dok. Pribadi
Awal tahun 2009, saya berkesempatan mengunjungi Swedia atas undangan Swedish International Development Agency (SIDA) untuk mengikuti International Training Program (ITP) bertajuk Marine Management : Good Governance in Practice. Program pelatihan ini berlangsung 1 bulan dan bertempat di 4 kota yaitu Gottenburg, Norrköping, Stockholm dan Malmo, mengunjungi dan belajar langsung di kantor pusat dari berbagai institusi yang terlibat dalam pengelolaan laut di Swedia.
Pada minggu ketiga, kami berkantor dan belajar dari professional di Swedish International Development Agency (SIDA) dan Swedish Environmental Protection Agency (SEPA) di Stockholm, Ibukota Negara Swedia.
Akhir pekan, Sabtu menjelang siang tanggal 21 Maret 2009, HP berdering dan suara diseberang adalah Tjek Syarif, kerabat yang sudah bermukim di Stockholm, dan mengatakan bahwa ia sudah berada di lobby hotel yang kami tinggali. Lalu saya turun dan bertemu dengan Tjek Syarif yang ditemani oleh Ustadz Muzakkir. Udara masih dingin dan mendung. Bulir halus salju melayang di udara saat kami berjalan menuju volvo, kendaraan besutan industri otomotif Swedia yang terkenal dengan keselamatan dan kenyamanannya.
Menginap semalam di rumah Tjek Syarif, keesokan harinya, Minggu pagi, saya bersiap untuk mengunjungi kediaman Wali Negara Tgk Dr Hasan Muhammad di Tiro. Ditemani oleh Husen dan Sabrina, sepasang anak dari Tjek Syarif, kami menuju apartemen beliau.
Kira-kira pukul 09.15 kami sampai dan disambut oleh Ustadz Muzakir. Kami dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu. Sembari menyuguhkan kopi susu kepada kami bertiga, Ustadz berbisik, “peugah haba ngon bahasa inggreh beuh, Abutjiek harok aneuk muda Aceh jeut bahasa inggreh (bicara dalam bahasa Inggris ya, Abutjiek (Teungku Hasan) suka anak muda Aceh bisa bahasa Inggris) ". Saya mengangguk dan menjawab,”Get”.
Tak lama, terdengar suara langkah pelan. Dari balik dinding, muncul dan tampak wajah legendaris dari sosok yang selama ini hanya dilihat dari photo dan didengar dari cerita-cerita di berbagai pertemuan. Berpenampilan rapi, berdasi dan berkacamata khas dengan senyum ikhlas, Wali Negara menyapa dan memberikan tangannya untuk bersalaman. Setelah melakukan salam takzim selayaknya anak kepada orang tua, kami dipersilahkan untuk duduk dengan suara pelan namun jelas.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan alasan kenapa saat ini ada di Swedia dengan bahasa yang disarankan oleh Ustadz Muzakkir, beliau tersenyum dan berdiri, mengajak kami mendekati satu lukisan di dinding kamar tamu. Lukisan tersebut adalah lukisan Istana Darud Donya, istana kerajaan Aceh.
Beliau menjelaskan dengan suara pelan namun bangga dan antusias. Pesan beliau yang saya tangkap bahwa Aceh dulu adalah bangsa yang maju. Tampak sekali beliau ingin bercerita tentang peradaban yang maju dimasa yang lampau agar kita percaya diri.
Setelah itu berlanjut, Wali Negara berjalan pelan dan mengajak room tour dengan menunjukkan berbagai photo yang tergantung di dinding apartemennya, mulai dari sosok pahlawan dan figur penting bagi dirinya hingga sertifikat pendidikan. Saya ingat ada ijazah studi beliau dari Columbia University.
Setelah itu ditunjukkan juga dokumen dan buku yang tersusun rapi dalam sebuah rak. Disamping rak buku, terdapat photo Almarhum Tgk Abdullah Syafi’i, yang menandakan hormat beliau kepada pejuang. Terdapat juga beberapa koper yang sudah tertata rapi. Memang saat itu, Wali akan segera kembali ke Aceh untuk kedua kali pasca perdamaian. Kali ini adalah perjalanan pulang ke Aceh untuk selamanya.
Berdekatan dengan pustaka kecil, Abu Doto Zaini Abdullah terlihat berada di meja makan sedang menyiapkan obat yang perlu dikonsumsi oleh Wali Negara.
Kemudian dari rak tersebut, diambil satu buku berjudul “Price of Freedom: Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro" terbitan tahun 1984 dan diberikan kepada saya. Ada kalimat Wali yang disampaikan yang menurut saya adalah konsep diri para pejuang yang ingin beliau bentuk. Beliau sampaikan dalam bahasa Inggris yang kira-kira artinya,”kita ini bagian dari orang-orang yang menjaga negara ini, bukan bagian dari yang mencari keuntungan dari negara ini”.
Buku Price of Freedom ditulis dalam bahasa Inggris. Tulisan beliau sangat mudah dipahami dan menandakan kemampuan literasi beliau yang sangat mumpuni meski dalam bahasa asing. Buku tersebut sangat sarat makna perjuangan dan tentunya perlu rekonstekstualisasi, bukan dalam konteks disintegrasi namun kesatuan yang tak terpisahkan dalam NKRI.
Wali Negara Tgk Hasan di Tiro menulis dalam kata pengantarnya bahwa kemerdekaan berarti bertanggung jawab sepenuhnya atas nasib kita, berusaha agar kita selalu berada di depan atau lebih baik dari daerah lain serta siap untuk menjalani konsekuensi apapun untuk meraih dua hal tesebut.
Dalam bahasa saat ini, kemerdekaan itu berarti kita mempunyai growth mindset. Gak usah sering menyalahkan pihak atau orang lain atas kondisi Aceh saat ini, namun gunakan sumber daya yang dimiliki untuk sebesar-besanya kemakmuran dan meningkatlan daya saing daerah ini, bukan untuk kepentingan pribadi hanya sekedar menambah pundi-pundi.
Setelah selesai membawa room tour, kami kembali ke ruang tamu dan meja kerja Wali. Disana kami mengambil photo sebagai kenang-kenangan. Kemudian, kami pamit untuk ke pusat kota Stockholm dan mengunjungi beberapa point of interest. Beliau mengiyakan dan yang membuat surprise adalah ternyata beliau mengantar kami hingga ke lift apartemen dan terlihat melambaikan tangan hingga pintu lift tertutup. Hal tersebut adalah kebiasaan beliau untuk menghormati tamu, siapapun tamu yang datang ke kediaman beliau.
Hari ini, 3 Juni 2025, adalah haul ke-15 sejak beliau berpulang ke rahmatullah di tahun 2010. Kita berdoa agar Almarhum ditempatkan bersama orang-orang yang diridhai Allah SWT dalam syurga-Nya. Amin.
Ada legacy atau warisan yang beliau tinggalkan lewat beberapa buku tulisannya. Yang saya pahami adalah upaya beliau untuk menyadarkan konsep diri masyarakat Aceh bahwa mereka pernah menjadi bangsa besar dan meyakinkan kita dengan upaya bersama dapat membawa Aceh sebagai bangsa teuleubeh di ateuh rhueng Donya. Saya yakin bahwa beliau ambil dari firman Allah dalam QS Al-Imran: 110 tentang Khaira Ummah Ukhrijat linnas (umat terbaik yang dikeluarkan diantara manusia).
Semoga kecintaan dan penghormatan kita kepada Almarhum Wali Negara Tgk Dr Hasan Muhammad di Tiro berwujud pada kerelaan kita membayar harga dengan memiliki growth mindset dan berupaya sekuat tenaga dan pikiran serta hati untuk membuat daerah ini merdeka yaitu lebih mahsyur, makmur dan maju dalam kesatuan NKRI.[]
Tentang Penulis:
Marthunis Muhammad saat ini adalah Kepala Dinas Pendidikan Aceh
Baca juga:
Sejarah Aceh 3 Juni: Berpulangnya Hasan Tiro, Lelaki yang Memprotes Jakarta Sejak Usia 29 Tahun