Sebuah Pagi Bersama Sihombing: Antara Omelan dan Nyali
Ada banyak cara membuat kekuasaan resah. Kenapa dia harus menjadikan orang asing seperti saya sebagai sasaran meluapkan kekecewaan dia?

Kautsar Muhammad Yus | Foto: Koleksi pribadi
PINTOE.CO - Pagi itu, kami memesan Grab untuk berburu sarapan di Jalan Kesawan, Medan. Sopirnya, Sihombing, seorang pria berusia 48 tahun dengan wajah yang seolah menceritakan perjuangan hidup. Garis-garis di mukanya membuatnya tampak lebih tua, tanda seorang pekerja keras.
Mobil Daihatsu Agya hitamnya, beraroma asap rokok, menjadi saksi petualangan pagi ini. Tiba-tiba, Sihombing menggerutu. Jalan Kesawan ditutup karena car free day.
“Lupa kalau hari ini Minggu,” keluhnya.
Setiap Minggu pagi, beberapa jalan di Medan berubah jadi arena olahraga, bebas kendaraan bermotor. Tapi bagi Sihombing, ini cuma menyusahkan.
“Pemerintah seenaknya nutup jalan! Kalau mau olahraga, ke lapangan saja, kenapa harus jalan raya?” ujarnya, mencari pembenaran dari saya.
Saya cuma diam, agak jengkel. Kenapa dia curhat ke saya? Saya bukan pejabat kota, bukan pula warga Medan.
Masyarakat kita sering kritis tidak pada jalurnya. Sering meluapkan kemarahan dengan mengomel saja. Padahal banyak cara yang efektif untuk merubah keadaan. Ada banyak cara membuat kekuasaan resah. Kenapa dia harus menjadikan orang asing seperti saya sebagai sasaran meluapkan kekecewaan dia? Harus mendengar stres dia?
Dulu ketika saya masih menjadi aktivis mahasiswa sering sekali kalau naik taksi di Jakarta suka memprovokasi supir taxi supaya beroposisi dengan pemerintah. Menggunakan waktu dalam taksi melakukan propaganda supaya supir taksi ikut membenci pemerintah. Dalam bahasa kami dulu, dimanapun kita berada kita perlu menyebarkan benih-benih perlawanan.
Saat saya provokasi begitu, supir taksi kebanyakan diam saja. Enggan berkomentar. Mungkin di dalam hatinya sama seperti yang saya rasakan saat ini: terganggu dengan ocehan yang tak pada tempatnya.
Jalan menuju Kesawan macet. Kendaraan parkir sembarangan di pinggir jalan untuk car free day. Sihombing kembali mengomel.
“Pemerintah bilang anti-parkir liar, tapi lihat ini! Jalan dijadikan parkir. Cakap tak serupa bikin!” serunya.
Lagi-lagi saya diam, enggan merespon. Melirik jam, saya putuskan sarapan nasi gurih di Kesawan harus dibatalkan. Lalu saya mengalihkan tujuan perjalanan.
“Ke Bandara Kualanamu aja, Bang,” putus saya.
“Bagaimana cara mengalihkan tujuan perjalanan pakai aplikasi ini?” tanya saya yang gagap aplikasi.
“Abang bayar saja 200 ribu, aplikasi saya matikan. Abang tidak payah bayar tol lagi dan tiba di bandara tepat waktu,” jawab Sihombing menawarkan solusi.
“Oke, ayo kita jalan,” kata saya, terpaksa merelakan kesempatan mencicipi lezatnya nasi gurih di sudut Kesawan, daripada ketinggalan pesawat.
Sihombing melajukan mobil Daihatsu Agya hitam miliknya lumayan kencang. Kabin dalam mobil bau apek rokok, tanda dia merokok dalam mobil bila tidak ada penumpang. Suara musik disetel besar-besar. Dia putar lagu Scorpion, The wind of change.
“Mantap kali lagunya bang,” komentar saya.
"Kita sesuaikan sama penumpang bang,” jawabnya.
Bisa juga dia mengolah, pikir saya dalam hati.
Tiba-tiba saya teringat sesuatu.
“Kenapa mobil belum juga masuk jalan tol?” tanya saya.
“Kita enggak pakai tol. Kita ambil jalur belakang supaya cepat sampe bang”,
“Tadi abang bilang kita pakai tol?” tanya saya lagi
“Enggak ada bang. Tadi saya bilang ongkos 200 ribu engak perlu lagi bayar tol”.
“Ya. Kita enggak naik tol untuk apa abang bayar tol kan?” sambung dia lagi.
Saya diam saja. Yang penting mobil sampai di bandara tepat waktu.
Tiba-tiba mobil melambat. Di hadapan kami ada banyak sepeda motor. Satu sepeda motor dikendarai sepasang kekasih. Usianya terlihat bukan remaja lagi. Si perempuan yang bercelana training ketat duduk mengangkang menyandarkan badannya lengket di punggung si pria. Kedua tangannya ia letakkan di leher belakang si pria. Dari cara duduknya si perempuan terlihat tinggi dan langsing.
Sihombing pun berkomentar nyinyir. “Ah, seakan dunia ini milik berdua aja. Boleh begitu, tapi jangan di jalan lah!. Hargai jugalah yang lain. Kita mau cepat diapun berleha-leha begitu”.
Saya iseng membalas, “Tenang, Bang. Nanti sore ajak istri jalan-jalan naik motor, pasti senang.”
Sihombing tertawa lepas.
“Di usia saya ini mana ada lagi begitu. Kalau kita ajak isteripun jalan begitu bisa curiga kenapa suamiku ini? Apa sudah gila? Di usia saya ini isteri cuma butuh duit bang. Ada duit kita disayang, tidak ada duit mukanya manyun. Semua enggak pas,” jawabnya, terasa getir.
“Enggak! Coba aja abang tes nanti sore. Mencoba seperti pasangan muda didepan kita. Kan tidak ada salahnya,” saran saya.
“Enggak lah bang”. Sihombing masih berkeras.
“Isteriku bantu-bantu orang jualan sayur di pajak bang,” kata Sihombing.
“Makanya abang kasih senang dia sedikit. Ajak aja jalan-jalan naik motor nanti sore. Enggak perlu duduk lengket-lengket kali gitu juga bang. Lagipun untuk apa? sebab usia kita ini manapun lagi tonggek teteknya,” jawab saya pakai nada agak Medan sikit.
“Haahhahaa,” Sihombing pun tergelak. “Lucu juga abang ni,” jawabnya.
Saat mendekati bandara, dia menawarkan nomor teleponnya.
“Abang ambil aja nomor aku. Kalau abang di Medan telpon aja aku . Mana tahu perlu diantar kemana. Cari cewek juga bisa aku bang. Ada ni di Hp aku beberapa bang. Abang bisa pilih mana yang abang suka. Ada beberapa orang Aceh kalau ke Medan dia pakai jasa aku bang,” katanya.
Saya tersenyum seraya menjawab,”nggak apa-apa, bang. Kalau ada kesempatan Tuhan pasti memperjumpakan kita lagi.”
Sihombing nyengir, lalu menjawab,”Alim juga rupanya abang ya.”
Sebelum turun, dia mengingatkan, “Periksa barang, jangan sampai ketinggalan.”
Saya melangkah ke bandara, meninggalkan Medan. Di pesawat, terngiang kembali obrolan bersama Sihombing si supir Grab, terutama ketika dia ngomel-ngomel, melontarkan protes yang tak pada tempatnya.
Ngomel-ngomel tak pada tempatnya ala Sihombing itu mengingatkan saya pada betapa banyaknya pergunjingan bernada protes tanpa aksi dan solusi. Hanya jadi status Facebook atau bahan cang panah (gunjingan) di kedai kopi. Setelahnya, berlalu begitu saja. Paling banter hanya berfungsi sebagai healing pengusir stres karena rasa kecewa perlu diekspresikan supaya tak mengendap dan lama kelamaan menjadi penyakit.
Padahal, seharusnya bisa didorong menjadi aksi politik, dikanalisasikan dan mengalir menjadi sebuah aksi yang bisa mengubah situasi. Tak punya nyali? []