Kami membangun gedung-gedung tinggi di atas tulang-belulang mereka yang hilang. Menikmati kemewahan dari penderitaan mereka yang disiksa.

Mengapa Engkau Tidak Boleh Membuka Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu?

Penulis: Afridal Darmi

Mengapa engkau tidak boleh membuka kasus pelanggaran HAM masa lalu? Karena luka itu harus dibiarkan membusuk dalam diam. Bukankah ingatan itu rapuh? Dan kami telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan uang untuk memastikan rapuh itu tetap hancur.

Kami telah menulis ulang sejarah, menyematkan nama-nama besar dalam buku pelajaran, membangun monumen untuk mereka yang kami angkat sebagai pahlawan. Kami yang menentukan siapa pahlawan dan siapa korban. Kami menulis sejarah, dan menentukan kapan ia boleh diingat, dan kapan harus dikubur. Kisah-kisah kepahlawanan kami benamkan begitu kuat hingga siapa pun yang bertanya dianggap mengusik ketenangan yang kami ciptakan.

Engkau pikir kebenaran soal fakta dan keadilan? Tidak. Kebenaran adalah racun bagi kami. Ini soal bertahan hidup: kalian hancur, atau kami. Fakta bahwa tangan kami berlumur sejarah kelam harus menjadi masa lalu yang dilupakan. Kasus-kasus yang engkau sebut pelanggaran HAM masa lalu itu harus dikubur dalam lubang hitam waktu, dengan propaganda, dengan kesunyian. Bukankah semua orang lebih senang mendengar tentang masa depan cerah daripada masa lalu kelam?

Jangan bicara. Agar kebisuan yang telah kami beli dengan harga yang sangat mahal tidak buyar oleh suaramu. Membayar saksi untuk lupa, memberi mereka identitas baru, kehidupan baru. Kami mengalirkan dana ke proyek-proyek besar agar semua orang sibuk mengejar kenyamanan, agar mereka tak lagi peduli.

Kami menghapus jejak, membakar dokumen, menghilangkan saksi, menulis ulang sejarah. Kami ciptakan cerita dan pahlawan buatan berkilau-kilau. Mereka yang melawan kami sebut pengkhianat; yang bersuara, pengganggu ketertiban; yang mencari keadilan, musuh bangsa. Kami buat kebijakan seolah janji keadilan, bentuk tim pencari fakta yang tak pernah benar-benar mencari. Kami kendalikan berita, bungkam media, menuduh suara-suara kritis sebagai penyebar kebohongan.

Jika cukup lama kami memutarbalikkan kenyataan, kebenaran akan kehilangan bentuk, mencair untuk kemudian pudar dan menghilang dalam waktu.

Kami membangun gedung-gedung tinggi di atas tulang-belulang mereka yang hilang. Menikmati kemewahan dari penderitaan mereka yang disiksa. Membungkus kebiadaban dengan seragam rapi, pidato manis, dan undang-undang yang tunduk pada kepentingan kami.

Engkau tidak boleh membuka kasus ini. Jika engkau melakukannya, dunia akan bertanya: "Siapa yang berkuasa saat itu?" "Siapa yang memberi perintah?" "Mengapa para korban tak pernah mendapat keadilan?"

Dan kami tahu, begitu mereka mulai bertanya, mereka tak akan berhenti. Kami takut mereka mulai mengingat.

Kami takut jika engkau membuka lembaran-lembaran itu kembali, jika kuburan itu terbuka lagi. Takut nama-nama disebut, bukti muncul, suara-suara yang kami bungkam bersuara lagi. Takut keluarga-keluarga menuntut jawaban. Takut generasi baru bertanya mengapa mereka tumbuh dengan cerita yang salah. Lalu mereka akan mulai bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan mencari sendiri jawabannya. Kami takut jika engkau bertanya, karena pertanyaan itu akan mengarah ke jawaban yang tak kami inginkan untuk mereka dengar.

Kami takut nama-nama yang kami tenggelamkan disebut kembali dengan dengan amarah. Takut wajah-wajah yang kami paksa dilupakan hadir dalam mimpi buruk. Takut suara-suara yang kami bungkam kembali bergema, lebih keras. Takut luka lama berdarah kembali.

Engkau tidak boleh membuka kasus ini karena keadilan bisa menggoyahkan keseimbangan. Jika kebenaran terungkap, semua yang telah kami bangun bisa runtuh.

Kami takut mereka sadar betapa banyak uang kami habiskan untuk menghapus jejak. Takut mereka melihat gelar kehormatan, medali, dan patung yang kami dirikan semuanya dibangun di atas tumpukan kebohongan, bahwa kepahlawanan yang kami banggakan hanyalah ilusi.

Jadi, diamlah. Jangan menggali. Jangan menulis. Tulisanmu bisa menjadi awal akhir kami. Jangan ungkit masa lalu yang telah kami jadikan mitos. Jangan tanyakan nama-nama yang telah kami kuburkan. Jangan ganggu ketenangan yang kami beli dengan mahal.

Tulisanmu bisa menjadi batu pertama yang memecahkan jendela kaca yang kami bingkai begitu hati-hati. Api kecil yang membakar arsip-arsip yang cermat kami susun. Gema yang menyusup ke lorong-lorong sunyi yang kami jaga agar tetap bisu.

Kami takut tulisanmu menjadi puisi. Bahkan lagu.

Kemudian, puisi itu, lagu-lagu itu terdengar di sudut kota, di halaman kampus, di pabrik-pabrik. Lirik sederhana tapi tajam umpama sembilu. Lagu-lagu yang mengingatkan akan kejahatan yang belum dihukum, luka yang belum sembuh, janji yang belum ditepati.

Kami takut mereka mengulang kata-kata itu, dengan suara yang lantang, dengan kobar kemarahan yang membesar.

Engkau tidak boleh membuka kasus ini karena kami ingin mereka melupakan.

Kami ingin mereka percaya ini hanya masa lalu. Bahwa keadilan tidak akan membawa apa-apa selain luka baru. Bahwa diam, hening adalah lebih baik daripada pertanyaan menyakitkan.

Kami ingin mereka tetap takut.

Kami ingin mereka percaya kami masih berkuasa, masih bisa membungkam kapan saja. Bahwa mereka tak punya pilihan selain menerima.

Tapi tahukah kalian ketakutan kami yang paling besar?

Kami takut mereka sadar bahwa kami tidak sekuat yang mereka kira. Kami takut mereka bertanya, bukan hanya tentang masa lalu, tapi masa kini dan masa depan. Kami takut mereka tahu bahwa mereka tidak harus hidup dalam ketakutan. Kami takut mereka percaya bahwa keadilan bukan mimpi, melainkan sesuatu yang bisa diperjuangkan.[]

Tentang penulis:
Afridal Darmi, SH, LLM. adalah seorang advokat profesional dan penulis amatir. Mantan Direktur LBH Banda Aceh dan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Pernah menjejakkan kaki di berbagai sudut Bumi di negeri-negeri yang jauh di empat benua dalam menjalankan misinya sebagai Human Right Defender. Tapi selalu mendapati dirinya merindu Aceh, tempat perahu hatinya tertambat dan membuang sauh, tempat ketiga anak dan istrinya bermukim. Menyukai kopi dan bacaan. Segelas seduhan kopi Aceh dan sebuah buku, serta pojok yang tenang untuk membaca, hanya itu yang diperlukan untuk membuatnya bahagia. Afridal berkediaman di Aceh Besar. Alamat email: [email protected])

pelanggaranham hakasasimanusia