Kinerja BPMA 2024: Belanja Pegawai Rp56 Miliar, Manfaat untuk Rakyat Masih Kabur
Dengan kinerja yang diklaim tinggi, pertanyaannya sederhana: mengapa rakyat Aceh masih menjadi penonton dalam pengelolaan sumber daya alamnya sendiri?

Grafis penggunaan anggaran Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) | Pintoe.co
PINTOE.CO - Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) melaporkan kinerja impresif sepanjang tahun 2024 dengan capaian 114,75 persen dari target yang ditetapkan. Namun, di tengah deretan angka dan indikator tersebut, sejumlah pertanyaan penting soal dampak langsung bagi masyarakat Aceh masih belum mendapat jawaban.
Dalam laporan kepada Kementerian ESDM yang dirilis akhir Februari 2025, BPMA menyatakan produksi migas mencapai 18.461 BOEPD (barrel oil equivalent per day) atau setara 106,45 persen dari target, sementara penerimaan negara dari sektor migas Aceh tercatat sebesar US$15,80 juta, sedikit di bawah proyeksi US$16,49 juta.
“Kami menjalankan fungsi pengawasan dan pengelolaan migas dengan prinsip akuntabilitas dan efisiensi,” ujar Kepala BPMA, Nasri, dalam pengantarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pengelolaan anggaran tahun 2024 mencapai tingkat penyerapan sebesar 97,66 persen dari total Rp78,93 miliar.
- Capaian Tinggi, Tapi Masih Banyak Titik Kabur
Meski angka capaian menunjukkan kemajuan, laporan tersebut minim penjelasan tentang dampak konkret bagi masyarakat Aceh, terutama di sekitar wilayah produksi seperti Aceh Timur, Lhokseumawe, atau Bireuen.
BPMA mengklaim mendorong komitmen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 69,36 persen, namun tidak dijelaskan berapa banyak tenaga kerja lokal yang dilibatkan atau berapa vendor Aceh yang diberdayakan.
Masalah aktivitas pengeboran ilegal oleh masyarakat kembali muncul dalam laporan, tetapi solusi yang ditawarkan masih bersifat administratif. Tidak dijelaskan bagaimana pemerintah dan BPMA mengembangkan pendekatan pemberdayaan terhadap warga yang terlibat, terutama di kawasan-kawasan miskin energi namun kaya potensi migas.
- Alih Kelola Wilayah Kerja Masih Jalan di Tempat
Laporan juga menyebut proses alih kelola sebagian Wilayah Kerja Pertamina EP ke BPMA sebagai salah satu isu strategis. Namun tidak dijelaskan sejauh mana progresnya, berapa nilai potensial yang bisa masuk ke kas daerah, atau kapan masyarakat Aceh benar-benar merasakan manfaat dari otonomi sektor migas yang telah dijanjikan sejak 2015.
Tanpa penjelasan terperinci, proses alih kelola ini dikhawatirkan hanya menjadi wacana tahunan dalam laporan, bukan realisasi nyata.
- Proyeksi Lingkungan dan Transisi Energi Masih Lemah
BPMA juga mengangkat potensi penerapan teknologi CCS/CCUS (penangkapan dan penyimpanan karbon) di Lapangan Arun sebagai upaya menuju Net Zero Emission. Namun, laporan tidak memuat roadmap yang jelas, studi dampak lingkungan, atau keterlibatan masyarakat sekitar.
Sementara wacana transisi energi terus digaungkan, masyarakat Aceh yang hidup di sekitar tapak-tapak industri justru masih berhadapan dengan persoalan klasik: pencemaran, konflik lahan, dan minimnya akses informasi.
- Belanja Pegawai Dominan, Manfaat untuk Rakyat Masih Abu-Abu
Laporan BPMA menyebutkan, dari total anggaran Rp78,92 miliar, sebanyak Rp56,1 miliar atau sekitar 71 persen tersedot untuk belanja pegawai. Sisanya untuk belanja barang dan jasa. Tidak ada rincian apakah anggaran tersebut menyentuh layanan publik, penguatan kapasitas warga lokal, atau pembangunan infrastruktur energi yang lebih merata di Aceh.
- Butuh Transparansi, Bukan Sekadar Angka
Masyarakat Aceh berhak tahu lebih dari sekadar angka capaian. Laporan setebal puluhan halaman itu memang mengesankan dari sisi teknokratis, namun minim ruang refleksi dan kritik internal. Tidak ada evaluasi mandiri, tak ada catatan dari masyarakat sipil, dan tidak ada pembahasan soal keterbukaan data kontrak atau distribusi manfaat.
Dengan kinerja yang diklaim tinggi, pertanyaannya sederhana: mengapa rakyat Aceh masih menjadi penonton dalam pengelolaan sumber daya alamnya sendiri?[]